BICARAINDONESIA-Jakarta : Delapan dari sembilan fraksi menyatakan sikap bersama, menolak wacana penerapan pemilu proporsional tertutup coblos partai. Sementara PDIP, menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang kukuh mendorong penerapan sistem pemilu itu.
Diketahui, sistem pemilu proporsional tertutup berpeluang diterapkan karena proses gugatannya masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Enam warga yang menggugat Pasal 168 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dua di antaranya mengaku dari kader NasDem dan PDIP.
Pasal itu mengatur sistem proporsional daftar terbuka yang berlaku saat ini. “Kami meminta MK untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008. Dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia,” bunyi salah satu poin pernyataan sikap delapan fraksi, Selasa (3/1/2023).
Kedelapan fraksi di DPR yang mengeluarkan pernyataan sikap bersama itu adalah Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, NasDem, PPP, dan PKS.
Delapan fraksi menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal demokrasi Indonesia ke arah yang lebih maju. Mereka juga mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat undang-undang dan tetap independen.
Tidak hanya itu, delapan fraksi juga menilai sistem proporsional terbuka saat ini bisa mendekatkan rakyat dengan calon wakilnya di parlemen. Sebab rakyat sudah terbiasa berpartisipasi dengan cara demokrasi itu.
“Kami sudah membangun komunikasi dengan 8 fraksi. Hasil dari komunikasi kami itu, kami sepakat pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sesuai UU no 7 tahun 2017,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia.
Resposn PDIP
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto merespons santai sikap beda fraksinya di DPR dengan yang lain terkait pemilu proporsional tertutup coblos partai. Menurut Hasto, setiap partai harus memiliki prinsip dalam berpolitik. Dia meyakini, berdasarkan konstitusi, partailah peserta pemilu.
Sistem proporsional terbuka yang selama ini diterapkan, kata Hasto, telah memicu banyak dampak negatif. Mulai dari ongkos pemilu yang mahal, manipulasi, dan kerja-kerja penyelenggara yang melelahkan.
“Kami ini taat konstitusi, tetapi bagi PDIP, kami berpolitik dengan suatu prinsip. Dengan suatu keyakinan bahwa berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol,” katanya di Kantor DPP PDIP, Jakarta.
Editor: Rizki Audina/*