BICARAINDONESIA-Jakarta : Mantan Dubes RI untuk Tiongkok periode 2014-2017 Sugeng Rahardjo, meluncurkan buku berjudul “Unboxing Tiongkok-belajar dari Tiongkok. Launching buku ini dilakukan persis di tengah dinamisnya pemberitaan soal Negeri Tirai Bambu itu.
Sugeng sendiri menulis berdasarkan pengalaman dan analisa, serta pengalamannya yang telah malang melintang mendapat tugas di dunia internasional selama kurang lebih 30 tahun, dari negara super power Amerika Serikat hingga ke Tiongkok.
“Dalam 30 tahun, Tiongkok mampu menyalip kemajuan bangsa barat selama 300 tahun. Hal ini karenanya selalu menjadi topik yang menarik untuk dipelajari, terutama setelah Deng Xiaoping menerapkan kebijakan reformasi dan keterbukaan pada 1978,” ujar Sugeng dalam sesi diskusi peluncuran bukunya berjudul “Unboxing Tiongkok” di Jakarta, Jum’at, 9 April 2021 kemarin.
Diskusi itu juga menghadirkan sejumlah pembicara lain seperti Iwan Santosa (jurnalis Kompas), Sariat Arifia (pegiat kaderisasi kepemimpinan Al-Azhar Youth Leader Institute/AYLI, pengusaha dan juga penulis), serta Rahmad Nasution (jurnalis LKBN Antara).
Sugeng juga mengatakan, keterbukaan Tiongkok tersebut menjadi ilham untuk judul buku ‘Unboxing Tiongkok’.
Menurut dia, informasi yang terkandung dalam buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas bahwa membangun perekonomian negara memerlukan komitmen, disiplin, kerja keras, dan kesinambungan.
Ia menilai, di antara keberhasilan Tiongkok yang perlu mendapat perhatian banyak bangsa, termasuk Indonesia, adalah pencapaian berkesinambungan pemerintah negara itu dalam penghapusan kemiskinan yang menjadi tantangan besar bangsa besar itu selama ini.
Sugeng melihat keunggulan Tiongkok karena mereka memiliki dasar yang kuat. Tiongkok negara sosialis, tetapi memadukannya dengan budaya lokal. Mereka juga memiliki sikap patriotisme yang kuat, dan itu jarang ada di negara-negara lain pada era saat ini.
“Mereka bersatu. Lihat saja ketika banyak perusahaan-perusahaan barat mengkritik kebijakan mereka, seperti dalam isu kaum Uighur. Mereka membalas, memboikot pembelian produk Barat,” papar Sugeng.
Ia mencontohkan, penduduk Tiongkok memboikot produk Nike berbulan-bulan. Hasilnya, produsen sepatu asal AS itu merugi hingga US$ 4,6 miliar.
“Tiongkok punya pasar besar, bisa menenggelamkan, ” kata dia.
Dikatakan Sugeng, pemerintah Tiongkok tampaknya akan memanfaatkan pasar dalam negeri yang berjumlah sekitar 1,4 miliar orang secara maksimal untuk dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara positif.
Keunggulan lain, Tiongkok memiliki sistem industri lengkap, sehingga tidak perlu kekuatan eksternal.
Ia melanjutkan, di tengah dinamika hubungan antarbangsa di tingkat regional dan global yang penuh tantangan yang tidak mudah saat ini, hubungan Indonesia dan Tiongkok justru terus menunjukkan tren peningkatan yang baik.
“Pemerintah kedua negara bahkan telah berhasil meningkatkan kemitraan strategisnya yang disepakati pada 2005 menjadi kemitraan komprehensif strategis pada 3 Oktober 2013,” kata mantan Dubes RI untuk Tiongkok tersebut.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Asep Saefuddin mengatakan, buku ini mencerminkan kecintaan Sugeng Rahardjo yang sangat dalam kepada bangsanya.
“Semua disusun berdasarkan pengamatan dan analisis yang mendalam. Kalau Tiongkok bisa maju seperti ini, mengapa Indonesia tidak bisa?” katanya.
“Unboxing menjadi buku yang benar membuka hal-hal , isu-isu yang selama ini tidak diketahui oleh masyarakat luas. Sehingga Tiongkok yang terkesan tertutup oleh masyarakat luas Indonesia bisa diketahui lebih dalam lagi di dalam buku ini”
Menurut dia, banyak yang bisa dipelajari dari buku itu. “Dengan tetap menghormati budaya kita. Saat kita menghormati budaya lokal, kita akan mnghormati budaya orang lain. Dan menyadari ada persamaan dalam budaya itu,” katanya.
Ia menambahkan, perlu belajar tentang Tiongkok. “Jangan takut ada komunislah. Memang benar ada komunis, tapi kita tidak mungkin menjadi komunis,” tutur Asep.
Oleh karena itu, tambah Asep, buku yang ditulis Sugeng Rahardjo ini sangat penting bukan hanya bagi para pejabat eksekutif dan legislatif negara saja, tapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia karena peta geopolitik dunia sedang berubah dengan kemajuan Tiongkok yang begitu masif.
“Perubahan inilah yang harus dilihat sebagai peluang dan ditangkap dengan baik oleh Indonesia sehingga bisa menguntungkan bangsa. Juga apresiasi saya yang setinggi-tingginya kepada Sugeng Rahardjo yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Mandarin. Ini merupakan satu lompatan hubungan yang jauh ke masa depan,” katanya.
Acara peluncuran buku dan pelaksanaannya dimotori oleh kader kader kepemimpinan Al-Azhar Youth Leader Institute (AYLI), unit kepemudaan bidang pengembangan kepemimpinan Masjid Agung Al-Azhar Jakarta yang diketuai oleh Idad Nursyamsi.
Iwan Santosa Jurnalis kompas dalam diskusi buku tersebut mengungkapkan, uku Sugeng sarat akan kajian yang mendalam terutama filosofis. Seperti misalnya tentang pembangunan tembok Cina. Tembok Cina yang disebut sebagai great wall di bangun dari abad ke 6 sebelum masehi hingga abad ke 16.
“Hampir 2 dekade lebih dan mereka konsisten dalam menjalankan pembangunan ini. Ini juga melambangkan bagaimana watak masyarakat Tiongkok ini. Saya suka katakan kepada teman-teman, lihat tembok ini bukan untuk menyerang tapi untuk bertahan serangan dari luar,” sebut Iwan.
Sedangkan Sariat Arifia menilai, Sugeng Rahardjo adalah tokoh langka yang memiliki kejujuran, kesederhanaan dan penuh integritas dalam bertugas.
Dalam perspektif sejarah bangsa ini yang mau menuju Indonesia emas ini, tulisan hasil perjalanan dan analisa sugeng rahardjo ini sangat penting.
Tidak seperti yang digembor gemborkan oleh media barat, justru Tiongkok mencapai kemajuannya dengan pesat tanpa meninggalkan spirituallisme dan budi pekerti. Dimana Kemajuan tidak diukur dari ekonomi saja, tapi juga dari adab yang di lakukan oleh masyarakatnya.
Gotongroyong yang menjadi ruh, semangat dari Pancasila. Justru diterapkan penuh di dalam segala lini oleh pemerintah Tiongkok, baik dalam pembangunan kota, adanya kebersamaan pemerintah dan pengusaha dalam membangun kotanya ataupun cara membuat satu tatanan industri dalam satu kota sehingga saling menunjang dan menjadi sangat efisien. Sangat sulit disaingi oleh negara manapun di dunia.
Kalau Indonesia mem-bench mark langkah stratejik Tiongkok dan menyesuaikannya dengan pancasila yang ada di Indonesia, maka Indonesia bisa juga menyalib peradaban dan kemajuan barat di tahun Indonesia emas 2045. Bukan hanya impian tapi kenyataan yang bisa diraih dengan kerja keras dan konsistensi.
Sementara Rahmad Nasution, memberikan perspektif kehati-hatian dalam memahami berita yang diproduksi oleh barar tentang Tiongkok.
“Hampir berita-berita yang diproduksi oleh media barat. Tidak berimbang dan selaku mengatakan Tiongkok tidak benar. Dan memang tidak akan pernah benar di hadapan barat. Karena barat selalu mengagendakan semua negara di manapun ikut dalam kepentingannya, termasuk juga Indonesia, harus sesuai dengan kepentingannya. Buku Unboxing inilah yang membuka melihat Tiongkok secara utuh bukan dari kacamata barat tapi dari Ke Indonesiaan kita oleh seorang Sugeng Rahardjo,” katanya.
Buku “Unboxing Tiongkok” ini dapat diperoleh melalui media online dengan harga sangat terjangkau. Idad Nursyamsi Ketua AYLI mengatakan, buku ini adalah bagian komitmen dari kami semua untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga harga tidak berorientasi kepada aspek komersialisme.
“Terlebih buat rekan rekan mahasiswa, buku ini dapat di miliki dengan harga subsidi. Sangat murah,” ujarnya.
Editor : Teuku/rel
No Comments