x

Hasil Survei SMRC Sebut Tiga Pasangan Capres Akan Maju di Pilpres 2024

4 minutes reading
Friday, 22 Apr 2022 15:17 0 374 rizaldyk

BICARAINDONESIA-Jakarta : Pilpres 2024 mendatang diprediksi akan muncul tiga pasangan calon yang akan meramaikan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Hal ini berdasarkan hasil survei Lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC).

Pendiri SMRC Saiful Mujani mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan pihaknya, akan muncul tiga poros atau tiga pasangan. Poros pertama adalah PDIP. Partai ini bisa mengambil siapa saja, kemungkinan PPP agar suasana Islam bisa terbentuk.

Poros kedua adalah Gerindra. Suara partai ini tidak cukup, mereka membutuhkan setidaknya satu partai lain. Jika PKB bergabung, itu cukup untuk memasangkan Prabowo dan Muhaimin.

“Sementara poros ketiga adalah Golkar. Golkar bisa terbuka untuk Nasdem, Demokrat, atau PKS,” kata Saiful seperti dikutip dari channel Youtube SMRC TV, Jumat (22/4/2022).

Ia menjelaskan, setidaknya ada enam faktor yang bisa mempengaruhi partai politik bisa berkoalisi dan mendukung satu pasangan tertentu.

Faktor pertama, kesamaan ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah partai yang lebih nasionalis atau kebangsaan, partai yang lebih pluralis dalam pengertian inklusif terhadap pelbagai identitas.

“Di sisi yang lain ada partai yang lebih menekankan Islam, lebih eksklusif karena Islam lebih diutamakan, kurang terbuka pada semua unsur yang beragam dalam masyarakat Indonesia,” ujar Saiful.

Ia menilai ada dua kutub ideologi politik di Indonesia. Kutub yang paling nasionalis adalah PDIP. Sementara kutub yang paling Islam adalah PKS. Karena jarak ideologisnya jauh, antara PDIP dan PKS, kemungkinan untuk bersama-sama di tingkat nasional tidak mudah.

“Sementara partai-partai dalam spektrum antara PDIP dan PKS bisa berkoalisi dilihat dari sisi ideologi, misalnya PDIP dengan Golkar, Demokrat, dan Nasdem,” katanya.

Faktor kedua, komunikasi elite. Hal ini sangat menentukan. Sebab, sejak Pilpres 2004 sampai sekarang, terlihat PDIP dan Demokrat tidak mudah untuk melakukan komunikasi.

“Ketika Demokrat berkuasa dan SBY sebagai presiden, PDIP memilih sebagai partai oposisi. Ketika PDIP berkuasa, sebagai partai terbesar pendukung pemerintah, Demokrat sebenarnya ingin bergabung sebagai partai pendukung pemerintah, tapi PDIP nampaknya tidak menerima,” kata dia.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, lanjut dia, Nasdem dan Gerindra juga tidak mudah untuk bertemu. Mereka punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, Nasdem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi.

“Oleh karena itu, faktor kemudahan komunikasi dan suasana kebatinan di antara elite partai akan mempengaruhi formasi koalisi,” kata dia.

Faktor ketiga, adanya tiga partai besar yang sangat berpengaruh untuk menjadi atau menarik poros koalisi, yaitu PDIP, yang tanpa koalisi pun sudah cukup untuk mencalonkan presiden. Kemudian Gerindra dan Golkar yang masih membutuhkan sedikit tambahan suara.

Faktor keempat, intensitas harus menjadi calon presiden. Ada partai yang pimpinannya harus jadi calon presiden, yaitu Gerindra. Saiful menyatakan bahwa mungkin pertimbangannya adalah efek Prabowo pada partai Gerindra itu sendiri.

“Sementara partai-partai lain tidak sekuat dukungan pada Prabowo. Misalnya Golkar dengan Airlangga belum terlalu yakin apakah akan maju sebagai nomor satu,” ujarnya.

Hal yang sama dengan Puan Maharani, walaupun partainya besar, juga belum kuat didorong untuk menjadi calon presiden. Karena itu, menurutnya, faktor Prabowo menjadi sangat penting karena dia akan maju menjadi nomor satu.

Faktor kelima, elektabilitas bakal calon. Saiful menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, belum ada perubahan signifikan dalam komposisi dukungan pemilih terhadap calon. Tiga besar yang mendapatkan dukungan terbanyak dari publik adalah Prabowo, Ganjar, dan Anies.

“Prabowo dan Ganjar sudah seimbang. Sementara dalam setahun terakhir, Maret 2021 sampai Maret 2022, Ganjar dan Anies mengalami kemajuan,” kata dia.

Faktor keenam, Ormas Nahdlatul Ulama (NU). “NU juga ikut berpengaruh, setidak-tidaknya untuk calon wakil presiden,” kata Saiful.

Ia menyebut, dalam sejarahnya, Megawati atau PDIP cenderung akan berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama. Pada 2004, Megawati menggandeng Hasyim Muzadi, 2014 Jokowi-Yusuf Kalla, dan 2019 Jokowi-Ma’ruf Amin. “Ada kecenderungan PDIP memilih tokoh NU sebagai calon wakil presiden,” ujarnya.

Adapun sebanyak 1.027 responden yang dianalisis dalam survei ini. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar lebih kurang 3,12 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka pada 13-20 Maret 2022.

Penulis / Editor : @red-*Amri

No Comments

Leave a Reply

LAINNYA
x