BICARAINDONESIA-Medan : General Manager PLTU Pangkalansusu OMU Trisno Widayat menganggap apa yang diungkapkan Yayasan Srikandi Lestari, hanya sebatas opini publik.
Hal itu diungkapkannya sebagai upaya
membela diri atas tudingan yang diakuinya tidak benar kepada pihaknya.
“Ya mohon maaf, namanya opini publik,” ucapnya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat whatsapp, Senin malam (25/4/2022).
Trisno juga mengaku bahwa mereka selalu melaporkan secara rutin dari segala dampak lingkungan.
“Kami juga selalu ikuti peraturan Kementerian LH,” kilahnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam mengoperasikan PLTU Pangkalansusu, pihaknya berpedoman dengan kaidah lingkungan hidup dan dilengkapi dengan dokument Amdal.
“Kita juga selalu melaksanakan kegiatan CSR terhadap masyarakat setempat sebagai wujud kepedulian,” tutupnya.
Sebelumnya, PLTU Pangkalansusu OMU di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, diduga mencemari lingkungan Pangkalansusu, hingga muncul tudingan telah mengakibatkan rusaknya kualitas air dan udara. Bahkan akibat situasi itu, kesehatan anak-anak yang tinggal di lingkungan sekitar Ring 1 turut terganggu.
Menyikapi hal itu, pada Ahad, 24 April 2022 lalu, Yayasan Srikandi Lestari mengagas dan menggelar Diskusi Krisis Iklim serta nonton bareng film “Bara Hitam” di salah satu kafe di Jalan Dr. Manysur, Medan.
Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti menjelaskan, bahwa sudah 44 persen terjadi perubahan iklim seperti kesehatan di lokasi PLTU berbahan bakar Batubara di Pangkalansusu, sehingga mengakibatkan banyak masyarakat termasuk anak-anak yang menderita penyakit kulit.
“Kita mengkampayekan agar menghentikan proyek PLTU Batubara yang ada di Langkat, serta memberikan solusi yang kami tawarkan adalah sinar matahari sebab karena energi ini saat baik dan merupakan ciptaan Allah,” jelas Sumiati Surbakti dalam diskusi serta launching Sekolah Energy Bersih untuk anak-anak yang terdampak lingkungan.
Bahkan Sumiati Surbakti juga mengutarakan bahwa pihaknya telah melakukan pengamatan hingga menggunakan satelit bahwa disana, tidak ada bak penampung abu. Padahal, PLTU Batubara yang kini dikelola PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan PLN, harus menyediakan bak penampung abu dalam radius sekitar 2,5 Kilometer di sekitar lokasi.
“Kami sudah pastikan dengan satelit bahwa di lokasi PLTU Batubara Pangkalansusu tidak ditemukan bak penampung abu, dan Amdal yang dikeluarkan juga seharusnya juga ada saringan abu sebab PLTU ini setiap harinya mengeluarkan abu sekitar 2,5 ton perharinya,” beber Sumiati.
Selanjutnya dari Fossil Free yang diwakilkan oleh Rimba Nasution yang merasakan dampaknya yang terjadi di lokasi PLTU Batubara Pangkalansusu, sangat tragis dan menakutkan. Sebab, anak-anak disekitar lokasi mengalami gangguan kesehatan seperti mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Bahkan mereka juha tidak bisa menulis akibat hal itu juga menyerang bagian tangan anak disana.
“Demi uang menghancurkan lingkungan, demi uang merusak masa depan. Sebab suasana di PLTU sangat mengerikan, kasus PLTU Batubara di Sumatera dari Aceh hingga Lampung hampir sama,” ungkap Rimba Nasution dalam diskusi tersebut.
Bukan itu saja, jelas Rimba, masyarakat sekitar juga pernah merasakan hujan tapi panas dan panas tapi hujan. Situasi itu dinilai menjadi bukti adanya krisis iklim yang terjadi dan biasa dirasakan bila lingkungan sudah tercemar.
“Kalau kita sadari kita bisa memperbaiki dengan tangan pemerintah, tapi bila tidak juga kita bisa meminta atau membangkang untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah,” tegas Rimba Nasution.
Dosen Psikologi Universitas Politeknik Negeri Medan, Atika yang turut hadir dalam diskusi itu mengungkapkan bahwa isu lingkungan di dalam isu politik tidak terlalu penting dan tidak populer.
“Ekonomi ekspolistasi, siapa yang diuntungkan, tentu sejumlah elit, dan yang pasti dirugikan adalah kelompok orang miskin,” jelas Atika dalam pemaparannya dalam diskusi yang turut dihadiri para aktivis lingkungan di Sumatera Utara.
Penulis/Editor : Teuku
No Comments