BICARAINDONESIA-Medan : Pakar hukum ahli pidana asal Sumatera Utara Dr Alpi Saharu, SH, MH mengungkapkan, Bareksrim Polri telah meletakkan dasar sejatinya transparansi pengungkapan kasus penembakan Brigadir J berbasis keadilan transformatif (post factum) dengan persangkaan Pasal 338 KUHPidana Junto Pasal 55 atau Pasal 56 KUHPidana.
Dikatakan Alpi, transparansi pengungkapan suatu peristiwa pidana bukan didasarkan pada opini maupun persepsi yang cenderung menganalogikan seuatu peristiwa dengan mengkait-kaitan padanan penerapan pasal (aresetnorm) di dalam suatu peristiwa pidana.
“Di dalam hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat berlandaskan fakta hukum sehingga perbuatan yang dilakukan sebagai maksud dirumuskannya suatu delik di dalam hukum pidana,” ungkapnya dalam rilia tertulisnya, Jum’at (5/8/2022)..
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini juga menjelaskan, transparansi pengungkapan dengan persangkaan Pasal 338 KUHPidana Junto Pasa 55 atau Pasal 56 KUHPidana yang dilakukan oleh Bareskrim Polri merupakan bentuk sejatinya proses penyidikan untuk terangnya suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu peristiwa pidana demi kepentingan hukum, bukan demi kepentingan opini publik atau setidak-tidaknya meredam opini publik.
Kata Alpi, ketentuan norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan termasuk aturan pidana merupakan abstraksi consensus (kesepakatan) yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat Indonesia seutuhnya dan seluruhnya bukan ditujukan untuk kepentingan segelintir masyarakat Indonesia ataupun kelompok-kelompok tertentu.
“Hal inilah yang saya apresiasi bahwa Bareskrim Polri telah melakukan transparansi yang tidak menerobos rambu-rambu kaedah penegakan hukum untuk terangnya suatu peristiwa pidana dengan menemukan tersangka yang dipersangkakan melanggar aturan Pasal 338 KUHPidana junto Pasal 55 atau Pasal 56 KUHPidana yang sejalan dengan prinsip hukum pidana yakni due process model terhadap peristiwa pidana hilangnya nyawa Brigadir J di TKP salah satu rumah dinas perwira tinggi Polri di Duren Tiga Jakarta Selatan,” ujar Alpi.
Untuk menghindari analogi dan persepsi-persepsi yang muncul dalam persangkaan terhadap tersangka Brada E terutama Pasal 55 atau Pasal 56 KUHPidana, kata Alpi lag8, maka perlu diuraikan ius constituendum, ius operatum dan ius constitum yakni berdasarkan ponstulat hukum pidana yang menyatakan “nullus dicitur fello principalis nisi actor aut qui praesens est, abenttans aut auxilians actorem and feloniam faciendam”.
“Artinya seseorang dapat disebut pelaku kejahatan ketika ia melakukan kejahatannya, atau ia membantu atau ikut serta melakukan kejahatan. Di dalam hukum pidana terdapat doktrin yang menyatakan bahwa penyertaan sebagai straufdehnungsgrund diartikan penyertaan adalah persoalan pertanggungjawaban pidana dan bukan merupakan suatu delik karena bentuknya tidak sempurna,” sebutnya.
Dengan kata lain, lanjutnya, penyertaan dipandang sebagai dapat diperluasnya pertanggungjawaban pidana pelaku. Penyertaan adalah perluasan terhadap pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan bukan delik yang berdiri sendiri.
“Dasar argumentasinya: Pertama, bab tentang penyertaan terletak pada Buku Kesatu KUHP perihal ketertiban umum. Kedua, bab tentang penyertaan berbicara mengenai siapa saja yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, artinya penyertaan fokus pada pelaku dan bukan perbuatan. Ketiga, dalam dakwaan penuntut umum, pasal-pasal tentang penyertaan harus di juncto–kan dengan pasal-pasa lain terkait kejahatan atau pelanggaran,” beber Dr Alpi.
Lebih jauh dia menyatakan, penyertaan dalam tindak pidana disebut dengan deelneming. Adapun deelneming diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana yang menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku suatu perbuatan pidana: Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Ketentuan Pasal 55 ayat (1) Ke 1 di dalam KUH Pidana diistilahkan dengan plegen, doenplegen dan medeplegen.
“Di dalam hukum pidana ada postulat yang menyatakan “nullus dicitur felo principalis nisi actor aut qui praesent est, abettans aut auxilians actorem ad feloniam faciendam”artinya seseorang dapat disebut sebagai pelaku kejahatan ketika ia melakukan kejahatannya atau ia membantu dan ikut serta melakukan kejahatan. Perlu saya tambahkan bahwa tidak semua pelaku peserta dalam medeplegen.memenuhi semua unsur delik. Sangat mungkin dalam medeplegen ada peserta yang memenuhi unsur delik namun ada juga yang perbuatannya secara konkret tidak memenuhi semua unsur delik.
Namun secara keseluruhan semua perbuatan dari medeplegen adalah suatu rangkaian perbuatan. Dengan demikian ada tiga kemungkinan, lanjutnya, dalam medeplegen yakni: Pertama, semua pelaku memenuhi unsur dalam rumusan delik; Kedua, salah seorang memenuhi unsur delik, sedangkan pelaku lain tidak; Ketiga, tidak seorangpun memenuhi semua unsur delik, namun bersama-sama mewujudkan delik tersebut.
Dalam medeplegen ada 2 (dua) kesengajaan yaitu:
1). Kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik di antara pelaku. Artinya ada suatu kesepakatan atau meeting of mind di antara mereka.
2). Kerjasama yang nyata dalam mewujudkan delik tersebut. Ke-2 kesengajaan ini mutlak harus ada dalam medeplegen dan keduanya harus dibuktikan penuntut umum di Pengadilan. Doktrin hukum pidana yakni “Agentes et consentientes pari poena plectenture atau consentientes et agentes pari poena plectentur”.
Artinya, pihak yang bersepakat dan melakukan perbuatan akan mendapatkan hukuman yang sama.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”.
Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu.
Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP. Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku. Ukuran kesengajaan dapat berupa;
(1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau
(2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.
“Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama (dader materiil),” tandasnya.
Berdasarkan uraian di atas, kata Alpi kembali, kiranya dapat disimpulkan perbedaan mendasar dari “turut melakukan” tindak pidana dengan “membantu melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada kerjasama yang disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama melaksanakan kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
“Sedangkan dalam “membantu melakukan”, kehendak dari orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri,” pungkasnya.
Editor : Yudis/*
No Comments