BICARAINDONESIA-Jakarta : Peserta pemilu tak berkewajiban menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Kewajiban tersebut telah dihapuskan oleh KPU.
Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara se-Indonesia (AMHTN-SI) menilai, keputusan KPU itu sebagai bentuk kemunduran dari aturan pemilu sebelumnya. “AMHTN-SI tolak penghapusan LPSDK,” kata Koordinator Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI A Fahrur Rozi, Kamis (8/6/2023).
Keputusan KPU itu, menurut AMHTN-SI, menurunkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dari pemilu. Nantinya, mereka khawatir asal dana politik bisa gelap gulita dan sulit dilacak.
“Dengan dihapusnya laporan penerimaan sumbangan tersebut, kita tidak tahu asal dana yang digunakan parpol dan kandidat dalam melakukan safari politik hingga gelar rapat umum di tempat terbuka,” kata Fahrur Rozi.
Lebih lanjut, Rozi mengatakan bahwa alasan KPU penghapusan laporan penerimaan sumbangan karena tidak tercantum dalam undang-undang sangat tidak masuk akal. Pasalnya, dalam Pasal 325 ayat (2) butir c Undang-Undang Pemilu menyebutkan, sumbangan dana politik yang diterima haruslah sah menurut hukum.
Indikasi keabsahan dana sumbangan politik tidak bisa diukur ketika asal perolehannya tidak diketahui. Dari sinilah, LPSDK yang memungkinkan politik uang parpol dan operasi para kandidat bisa dilacak asal-usulnya.
“Ya, kita tidak bisa mengukur selepas ini apakah dana sumbangan itu sah atau tidak secara hukum. Kalau ternyata ada indikasi, pelaporannya saja sudah dihapus,” ungkap Rozi.
Pada akhirnya, KPU dituntut untuk melakukan evaluasi terhadap keputusan penghapusan LPSDK dalam Pemilu mendatang. Pengaturan dana kampanye sangat penting dalam meminimalisir kecurangan Pemilu. Bahkan, dalam UU Pemilu juga dibatasi nominal sumbangan baik dari individu (Rp2,5 miliar) maupun korporat (Rp25 miliar).
Pengaturan tersebut adalah iktikad baik dalam memutus rantai korupsi dan eksploitasi kekayaan. Ibaratnya, dana tersebut menjadi utang transaksional di awal yang dibebankan kepada kandidat yang terpilih nantinya. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya bagi-bagi proyek dan obral perizinan untuk eksploitasi hak rakyat dan kekayaan alam.
Setidaknya, dengan LPSDK dana ilegal seperti ini bisa diminimalisir sebaik mungkin. “KPU harus ingat, kualitas pelaksanaan pemilu akan memengaruhi legitimasi keabsahan hasil pemilu nantinya,” jelasnya.
Komisioner KPU Idham Khalik mengatakan, penghapusan kewajiban LPSDK untuk Pemilu 2024 didasarkan pada tidak adanya aturan dalam UU Pemilu. Alasan lainnya, parpol-parpol tidak punya cukup waktu untuk melapor.
Menurutnya, penyumbang dana kampanye juga mesti dari kelompok yang berbadan hukum. Ia menilai, pertimbangan keputusan itu sudah ditinjau bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“LPSDK dihapus karena tidak diatur dalam UU Pemilu,” kata Idham, (29/5/2023) lalu.
Di sisi lain, KPU juga kini menyiapkan Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), yakni alat KPU untuk menjamin transparansi Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) peserta pemilu. RKDK akan menjadi tempat seluruh penerimaan dana kampanye berbentuk uang sebelum digunakan kampanye.
Editor: Rizki Audina/*