BICARAINDONESIA-Jakarta : Mulai Juli mendatang, Amerika Serikat berncana untuk bergabung kembali dengan Badan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB, UNESCO. Washington mengundurkan diri lima tahun silam karena menganggap UNESCO terlalu berpihak kepada Palestina.
Direktur Jendral UNESCO Audrey Azoulay menilai, niat AS untuk kembali menjadi anggota sebagai bukti kepercayaan besar pada UNESCO.
“Ini merupakan bukti kepercayaan yang besar terhadap UNESCO dan multilateralisme,” katanya di hadapan perwakilan UNESCO di Paris, Prancis, Senin (12/6/2023).
Kendati demikian, keanggotaan AS masih harus disetujui dalam pencoblosan yang melibatkan semua 193 negara anggota. Sebagai salah satu pendiri UNESCO, AS mulai berseteru dengan badan PBB itu sejak tahun 2011. Tepatnya, ketika Palestina diterima sebagai negara anggota. Langkah itu sontak memicu penolakan dari AS dan Israel.
Palestina tidak diakui sebagai sebuah negara berdaulat oleh banyak negara Barat, termasuk AS, Inggris, dan Jerman. Meski kebanyakan mendukung solusi dua negara, AS dan Eropa ingin agar kemerdekaan Palestina dicapai melalui negosiasi langsung dengan Israel.
Puncaknya pada 2017, mantan Presiden Donald Trump mencabut keanggotaan AS di UNESCO, bersama dengan Israel.
Senin lalu, Duta Besar Cina untuk UNESCO Jin Yang mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya UNESCO memulihkan keanggotaan AS. Dia mengakui ada dampak negatif dari absennya Amerika Serikat.
“Status keanggotaan di sebuah organisasi internasional adalah isu serius dan kami berharap bahwa kembalinya AS kali ini akan dibarengi pengakuan kepada misi dan sasaran organisasi ini,” tutur Yang.
Ini bukan kali pertama AS meninggalkan UNESCO. Pada 1984, Presiden Ronald Reagan membatalkan keanggotaan AS, dengan dalih maraknya korupsi, malapraktik dan dominasi pengaruh Uni Sovyet.
AS baru kembali bergabung pada 2003 di bawah pemerintahan George W. Bush, demi menekankan pentingnya kerja sama internasional di tengah invasi Irak.
Tentang Dominasi Cina
Usai lima tahun absen, kini lingkaran Diplomat AS mengungkapkan adanya kekhawatiran terhadap pengaruh Cina di UNESCO, terutama menyangkut isu kekinian.
Maret silam, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan, absennya AS memungkinkan Cina mendiktekan regulasi terkait kecerdasan artifisial.
“Saya sangat meyakini bahwa kita harus kembali ke UNESCO. Bukan sebagai kado kepada UNESCO, tetapi karena segala sesuatu yang diputuskan di UNESCO bernilai penting,” katanya di hadapan Komite Senat.
“Mereka sedang merancang regulasi, norma, dan standar untuk kecerdasan buatan. Kami ingin ikut terlibat,” imbuhnya.
Editor: Rizki Audina/*