BICARAINDONESIA-Deen Haag : Penistaan terhadap Al-Qur’an kembali terjadi. Kali ini, seorang aktivis sayap kanan menginjak-injak dan merobek Al-Qur’an dalam unjuk rasa yang digelar di luar Kedutaan Besar Turki di Den Haag, Belanda.
AFP, Sabtu (19/8/2023), melansir bahwa Pemerintah Belanda telah mengecam unjuk rasa yang digelar menjelang aksi provokatif pada Jumat (18/8/2023) waktu setempat. Namun, mereka juga mengatakan, tidak memiliki kekuatan hukum untuk mencegahnya.
Edwin Wagensveld yang merupakan pemimpin kelompok sayap kanan Pegida cabang Belanda ini, merusak salinan Al-Qur’an dalam aksinya bersama dua orang lain. Beberapa koresponden AFP menyaksikan langsung aksi penistaan Al-Qur’an yang dilakukan Wagensveld itu.
Kepolisian setempat menutup akses ke ruas jalanan yang menjadi lokasi Kedutaan Besar Turki di Den Haag saat unjuk rasa digelar para aktivis sayap kanan. Terdapat unjuk rasa tandingan di lokasi, yang dihadiri sekitar 50 demonstran.
Saat Wagensveld mulai merobek beberapa halaman Al-Qur’an, eberapa demonstran itu mulai melemparinya dengan bebatuan.
Sekitar 20 personel kepolisian yang dilengkapi tameng dan pentungan turun tangan ketika sejumlah demonstran berupaya mengejar Wagensveld yang meninggalkan lokasi.
Sebelumnya, pada Jumat (18/8/2023) pagi, Menteri Kehakiman Belanda yang merupakan kelahiran Turki, Dilan Yesilgoz, menyebut bahwa rencana aksi menistakan Al-Qur’an sebagai tindakan ‘cukup primitif dan menyedihkan’. Sayangnya, aturan hukum di Belanda mengizinkan unjuk rasa semacam itu.
Aksi semacam itu bukan yang pertama kali dilakukan oleh Wagensveld. Pada Januari lalu, dia disidang di pengadilan Belanda atas komentar yang diucapkannya dalam unjuk rasa serupa. Saat itu, Wagensveld merobek salinan Al-Qur’an di luar Gedung Parlemen Belanda dan menyamakan kitab suci agama Islam itu dengan ‘Mein Kampf’ karya Adolf Hitler.
Selain di Belanda, aksi penistaan Al-Qur’an lainnya juga terjadi di beberapa negara Eropa lainnya, seperti Swedia dan Denmark. Aksi-aksi semacam itu memancing kemarahan dan bahkan kerusuhan di beberapa negara mayoritas.
Editor: Rizki Audina/*