BICARAINDONESIA-Jakarta: Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ungkapan itu agaknya yang pas dialamatkan kepada Eduard Hasiolan Panggabean. Upaya keluarga yang membawa pria paruh baya itu dari kampung halamannya di Kabupaten Tapanuli Utara ke RSU Martha Friska, Jalan Multatuli, Medan dengan harapan ia bisa segera sembuh dari penyakitnya, malah berakibat fatal.
Sebaliknya, diduga akibat tindak medis, hanya dalam waktu singkat setelah dianjurkan menjalani rawat inap, penduduk Siborong-borong itu dinyatakan meninggal dunia. Ironisnya, korban yang sebelumnya masuk ke rumah sakit dalam kondisi normal, mendadak meregang nyawa setelah mendapatkan suntikan dari seorang perawat
Tak puas atas kondisi tersebut, keluarga korban yang menduga terjadinya malapraktik atas kasus yang menimpa Eduard, melalui kuasa hukumnya Roni Prima Panggabean SH, CLA, akhirnya membawa permasalahan ini ke jalur hukum.
Dalam keterangan persnya, Roni Prima Panggabean dari Roni Prima & Partners yang berkedudukan di Setia Budi, Jakarta Selatan selaku kuasa hukum mengungkapkan, terkait kasus tersebut, pihaknya juga turut melaporkan pihak RSU Martha Friska Multatuli Medan ke Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Hukum & HAM, Ikatan Dokter Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia.
“Saya bersama tim hukum Bang Nugra & Nuel secara resmi melakukan pengaduan atas tindakan RSU Martha Friska Multatuli Medan yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur dalam hal ini dugaan kuat malapraktik yang mengakibatkan kematian Eduard Hasiholan Panggabean,” tegasnya di Jakarta, Senin (30/12/2024)
Dijelaskan Roni, terkait hal ini, keluarga korban sudah empat kali mempertanyakannya ke pihak rumah sakit. Namun tidak sekalipun ditanggapi.
Kronologis
Lebih jauh Roni menjelaskan, pihak keluarga memilih membawa korban ke RSU Martha Friska Multatuli Medan pada Senin dinihari, 9 September 2024, berdasarkan rujukan RS Santa Lusia Siborong-borong.
“Ketika itu, Korban yang dibawa keluarganya tiba di RSU Martha Friska Multatuli Medan sekitar pukul 02.00 WIB. Sampai tiba di rumah sakit itu, korban dalam keadaan normal atau tidak dalam keadaan kritis, bahkan masih dapat makan secara normal di rumah sakit tersebut sambil bercengkrama bersama keluarga,” terangnya.
Namun pada pagi harinya, persisnya sekitar pukul 10.00 WIB, lanjut Roni, ruang rawatnya didatangi seorang perawat.
“Ketika itu perawat tersebut berkata, izin pak biar saya suntik dan perawat segera melakukan tindakan suntik obat Infimycin Azitjromycin Dihydrate serbuk infus IV 0,5 g melalui jalur urat vena pada tangan kiri. Pada saat penyuntikan dilakukan perawat melakukan penghentian sementara aliran saluran botol infus menunggu selesai penyuntikan melalui saluran vena, dan perawat segera pamit keluar setelah melakukan penyuntika,” urainya.
Nahas, hanya dalam hitungan menit pasca tindak penyuntikan, petaka itu pun tiba. Keluarga korban melihat ada reaksi obat terhadap korban.
“Seketika itu korban meronta dan merintis kesakitan. Saat itu korban berkata apa ini panas kali, saking tidak tahan, korban sambil menggigit lidah menjerit kesakitan dan tergeletak dengan posisi tertidur dan mengerang kesakitan sampai hilang nyawa korban dalam hitungan menit. Hal ini pun membuat keluarga korban/klien kami menjerit minta tolong ke dokter jaga lantai III, kemudian dokter dan perawat hadir melakukan tindakan pompa dada tetapi klien kami telah melihat korban badan sudah kaku, dingin, dan tidak bernyawa. Bahwa pada saat itu juga sekitar pukul 10.45 WIB dokter menyatakan korban telah meninggal dunia,” sebut Roni.
Roni juga mengaku kecewa, karena sejak korban tiba di Martha Friska, dokter yang bertanggungjawab inisial dr DI, sekalipun tidak ada melakukan observasi langsung terhadap pasien. Ia hanya memberi pendelegasian kepada perawat.
Kemudian, sambungnya, bahwa tindakan penyuntikan Infimycin Azitjromycin Dihydrate ke urat vena secara langsung, tidak ada ditangani oleh dokter spesialis atau hanya dilakukan perawat, dan tidak ada konfirmasi kepada keluarga untuk tindakan yang dilakukan, jelas perbuatan yang fatal.
“Tahapan penggunaan Infimycin jelas tidak sesuai standar operasional prosedur dan kuat dugaan malapraktik yang akhirnya menghilangkan nyawa pasien dengan seketika,” tegas Roni.
Sebagai bentuk protes, kata Roni lagi, keluarga korban bersama dr Sabar Panggabean, alumni USU yang merupakan dokter spesialis bedah syaraf dan pernah menjadi dokter teladan Sumatera Utara, sudah empat kali mendatangi pihak Martha Friska sejak korban meninggal akibat dugaan malapraktik tersebut.
“Pada saat itu dr Sabar Panggabean juga menjelaskan standar operasional prosedur yang seharusnya dilakukan, namun dalam hal ini pihak rumah sakit sama sekali tidak menanggapinya,” sesalnya.
Untuk itu, kuasa hukum korban berdasarkan pengaduannya menuntut agar Menteri Kesehatan, IDI, Badan Pengawas Rumah Sakit untuk segera melakukan audit investigasi terhadap seluruh jajaran RSU Martha Friska Multatuli Medan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum.
“Kalau seperti ini penanganan Rumah sakit setiap orang yang datang ke RSU Martha Friska Multatuli Medan hanya akan menjadi tempat menghantar nyawa saja , kita sebagai manusia aja mau potong ayam belum tentu bisa mati hitungan menit. Tapi ini baru disuntik hitungan menit tiba-tiba mati,” pungkas Roni.
Untuk itu, ia meminta pihak Kemenkes dan pihak terkait lainnya untuk memerintahkan Direktur RS bertanggujawab penuh atas kematian korban yg tidak sesuai standar operasional prosedur yg mengakibatkan malapraktik dan berujung kematian.
Sementara itu, sejauh ini belum ada keterangan resmi dari pihak RSU Martha Friska Multatuli Medan meski konfirmasi via WhatsApp sudah dilakukan
Penulis/Editor: Ty