BICARAINDONESIA-Jakarta : Kementerian Perdagangan (Kemendag) mberikan alasan soal kurangnya takaran MinyaKita. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan mengatakan bahwa para repacker tidak mendapatkan minyak dari skema domestic market obligation (DMO).
Seharusnya, MinyaKita yang merupakan merek minyak goreng rakyat diambil dari kontribusi para pelaku usaha industri turunan kelapa sawit melalui skema kebijakan DMO.
“Bisa jadi para repacker ini tidak mendapatkan minyak DMO,” ujar Iqbal saat ditemui di kantor Kemendag, Selasa (18/3/2025).
Proses produksi MinyaKita, jelas Iqbal, tergantung pada kerja sama yang dilakukan produsen dengan repacker. Tidak semua repacker mendapatkan pasokan minyak DMO.
“Karena ini kan tergantung produsennya, mau kerja sama dengan repacker mana? Ini kan mekanisme B to B dan murni skema komersial,” kata Iqbal.
Adapun DMO merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan eksportir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan sejumlah produk turunan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng rakyat beserta bahan bakunya di dalam negeri.
Seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok atau mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp 9.300/kilogram untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp 10.300/kilogram.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, mengatakan bahwa minyak goreng rakyat dari skema DMO rata-rata hanya memasok 160.000 hingga 170.000 ton per bulan.
Di sisi lain, kebutuhan minyak goreng murah mencapai 257.000 ton per bulan. Karena selisih itu, produsen nakal menggunakan minyak goreng komersial untuk digunakan sebagai MinyaKita.
Diketahui, sejumlah produsen terindikasi menyunat takaran MinyaKita setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah pasar pada Maret ini.
MinyaKita kemasan yang seharusnya berisi 1 liter, memiliki volume kurang dari kemasan yang tertera.