BICARAINDONESIA-Jakarta : Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) protes karena merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Kesehatan. Gaduh terkait RUU Kesehatan Omnibus Law yang disebut merugikan industri dan petani tembakau pun tak terelakkan.
Sekjen AMTI Hananto Wibisiono mengeklaim, pasal 154 terkait zat adiktif memosisikan tembakau sejajar dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, menurutnya, tembakau sebagai komoditas strategis nasional merupakan produk legal yang berkontribusi besar pada perekonomian negara.
“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini, tetapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya,” tegas Hananto, Kamis (13/4/2023).
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril buka suara. Syahril memastikan, pemerintah tidak lantas menyamakan perlakuan tembakau dan juga alkohol dengan narkotika serta psikotropika. Maksud dari pengelompokan tersebut hanya dikaitkan dengan zat adiktif yang memiliki unsur ketergantungan, jika dikonsumsi berlebihan.
“Pengelompokan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika. Yang mana, kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukuman pidananya,” terangnya, Jumat (14/4/2023).
“Narkotika dan psikotropika diatur dalam undang-undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukkan ke dalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya,” lanjutnya.
Selain itu, Syahril juga membantah kemungkinan pelarangan dan pidana tembakau serta alkohol disamakan dengan ganja dan lainnya. Pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif, disebutnya juga sudah ada dalam UU Kesehatan yang saat ini berlaku.
Oleh karenanya, tidak benar, jika tembakau dan alkohol akan diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Editor: Rizki Audina/*