BICARAINDONESIA-Jakarta : Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan sehingga jaksa tidak boleh mengajukan PK.
“Kita akan pelajari dulu, karena kita masih melihat ada celah hukum, yakni kelemahan dalam menjatuhkan putusan dimaksud,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana saat dihubungi, Minggu (16/4/2023).
Apalagi terkait masalah ini, Ketut menilai ada celah hukum dalam proses MK mengadili perkara tersebut. Meski demikian, Ketut mengatakan putusan MK bersifat final and binding (mengikat) sehingga jaksa selaku pelaksana undang-undang akan menjalankan putusan tersebut.
“Belum ada pemeriksaan perkara pokoknya tiba-tiba sudah diputus, makanya kita pelajari dulu, walaupun dari sisi aturan putusan MK itu adalah putusan yang tidak bisa dilakukan upaya hukum,” katanya.
“Namun demikian kita akan melaksanakan putusan dimaksud, karena sifatnya telah mengikat ketika diputuskan,” sambungnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan. Jadi, kini jaksa tidak boleh mengajukan PK. Gugatan itu diajukan notaris Hartono.
“Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi putusan MK yang dibacakan Ketua MK dalam sidang yang disiarkan di YouTube, Jumat (Jumat/14/4/2023).
Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang dihapus berbunyi:
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali.
MK menilai pasal di atas telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
“Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ucap MK.
Menurut MK, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta penjelasannya dalam UU 11/2021 berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut.
“Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,” beber MK.
Editor : Ty/dtc