x

Dosen Magister Kenotariatan USU : HPL Petisah Tengah Bukan Milik Pemko Medan

12 minutes reading
Thursday, 30 Mar 2023 09:52 0 413 admin

BICARAINDONESIA-Medan : Penegasan dari Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Medan, Zulkarnain bahwa tanah hak pengelolaan lahan (HPL) nomor 1, 2 dan 3 Petisah Tengah secara sah aset milik Pemko Medan dan dimuat di sejumlah media cetak, online bahkan tayang di media elektronik merupakan hal yang keliru dan tidak mempunyai dasar kuat.

Hal tersebut ditegaskan Dr Henry Sinaga, SH, SpN, M.Kn, selaku Notaris/PPAT yang juga sebagai Dosen Program Studi Magister Kenotariatan FH USU-Medan yang juga Konsultan Hukum Forum Petisah Bersatu (FPB).

“Dimana saat ini tidak bisa dibantah, masih banyak ditemukan di kalangan masyarakat dan pemerintah (termasuk Pemerintah Kota (Pemko) Medan) yang belum memahami dengan baik dan benar tentang keberadaan Hak Pengelolaan (HPL) baik dari aspek historis, filosofis maupun substansinya,” ujar Henry kepada awak media di medan, Kamis (30/3/2023).

Pemahaman Pemko Medan yang belum baik dan belum benar terkait keberadaan HPL terlihat dengan jelas dan nyata pada kebijakan Pemko Medan dalam menjalankan kewenangannya selaku pemegang HPL di atas tanah HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah Kota Medan.

“Pemahaman Pemko Medan yang belum baik dan belum benar terkait keberadaan HPL ini semakin diperburuk pula dengan keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004) beserta turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 27/2014) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 28/2020) serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah (PERMENDAGRI 19/2016),” tegas Dosen Program Studi Magister Kenotariatan FH USU – Medan ini.

Menurut Hendry, pemahaman yang baik dan benar terhadap keberadaan HPL di Indonesia hanya dapat diperoleh dengan merujuk atau berpedoman kepada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (UU CIPTA KERJA), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021) dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan Hak Atas Tanah (PERMENATR/KABPN 18/2021).

Kata Henry, artikel ini mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan bagi Pemko Medan atau pihak manapun selaku pemegang HPL (terutama pemerintah daerah), untuk memahami dengan baik dan benar terkait keberadaan HPL di Indonesia agar masyarakat tidak menjadi korban.
1.HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah bukan aset  Pemko Medan.
Menurut UU 1/2004, yang dimaksud dengan aset adalah sumber daya, yang antara lain meliputi uang, tagihan, investasi, dan barang, yang dapat diukur dalam satuan uang, serta dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah dan diharapkan memberi manfaat ekonomi/sosial di masa depan.

Selanjutnya menurut UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020 dan PERMENDAGRI 19/2016 dikatakan bahwa barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Dengan berpedoman kepada UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020 dan PERMENDAGRI 19/2016 tersebut di atas dapat dikatakan bahwa HPL itu bukan aset yaitu sumber daya yang berupa uang, tagihan, investasi, dan barang, yang dapat diukur dalam satuan uang.

HPL juga bukan barang milik daerah yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) karena HPL tidak boleh diperjualbelikan atau dialihkan atau dipindahtangankan.
HPL juga bukan barang atau benda atau hak kebendaan yang dapat dikuasai oleh Hak Milik, karena HPL itu bukan hak-hak atas tanah.

Salah satu bukti bahwa HPL bukan hak atas tanah adalah adanya larangan HPL untuk dipindahtangankan (dialihkan) dan dijadikan jaminan utang.

Lalu apakah sesungguhnya HPL itu ?
Menurut UU CIPTA KERJA, PP 18/2021 dan PERMENATR/KABPN 18/2021, HPL adalah Hak Menguasai Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL.
HPL adalah segempil atau secuil (sedikit) dari Hak Menguasai Negara.  Hak Menguasai Negara adalah sebutan atau nomenklatur yang diberikan oleh UUPA untuk menunjukan hubungan konkret antara  Negara dan tanah di Indonesia.

Menurut UUPA, Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia diberikan kuasa oleh bangsa Indonesia untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah di Indonesia. Pemberian kuasa tersebut menurut UUPA berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang berbunyi  : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, menurut UUPA bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Perkataan “dikuasai” memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk :
1.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut menurut UUPA digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Menurut UUPA wewenang yang bersumber pada Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini menurut UUPA terkait dengan azas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Urusan agraria (pertanahan) menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.

Menurut UU CIPTA KERJA dan PP 18 Tahun 2021 sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada: a. instansi Pemerintah Pusat; b. Pemerintah Daerah; c. badan bank tanah; d. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e. badan hukum milik negara/daerah; atau f. badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Hak pengelolaan menurut UU CIPTA KERJA dan PP 18 Tahun 2021 memberikan kewenangan untuk : a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang; b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/ atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan ketentuan UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020, PERMENDAGRI 19/2016 dan UU CIPTA KERJA, PP 18/2021 dan PERMENATR/KABPN 18/2021 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa HPL bukan merupakan atau tidak dapat dikategorikan sebagai aset atau barang milik Pemko Medan akan tetapi merupakan pelimpahan kewenangan (medebewind)  atau pemberian kuasa dari Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional) kepada Pemko Medan dan pelimpahan kewenangan (medebewind)  atau pemberian kuasa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai barang atau aset milik daerah karena pelimpahan kewenangan (medebewind)  atau pemberian kuasa tersebut bukan hak kebendaan yang berupa hak-hak atas tanah.
2. Pemko Medan tidak boleh bertindak sebagai pemilik tanah.
Menurut Pemko Medan, tanah HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah adalah sah aset milik Pemko Medan. Pendapat ini diutarakan dengan mengacu atau berpedoman kepada UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020 dan PERMENDAGRI 19/2016, dengan asumsi bahwa tanah HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah tersebut adalah merupakan barang milik daerah (milik Pemko Medan) yang berupa tanah yang dikuasai pemerintah daerah (Pemko Medan).
UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020 dan PERMENDAGRI 19/2016 menetapkan dan mengatur bahwa negara / daerah  dapat bertindak sebagai pemilik tanah di Indonesia. Penetapan dan pengaturan bahwa negara / daerah dapat bertindak sebagai pemilik tanah di Indonesia sesungguhnya adalah pelanggaran dan bertentangan terhadap Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 dan UUPA.
Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selanjutnya menurut UUPA bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya, Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”.

Sesuai dengan pendirian  tersebut di atas UUPA menegaskan bahwa perkataan “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki.”
Selain itu, Negara sebagai pemilik tanah menurut UUPA juga bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas Negara yang merdeka dan modern.
Pendirian UUPA tersebut memang sangat tepat, karena secara historis, konsepsi Negara  sebagai pemilik tanah adalah konsepsi Negara feodal dari zaman abad pertengahan, sebagai contoh konsepsi hukum tanah Inggris dan bekas Negara-negara jajahannya.

Dalam konsepsi feodal ini semua tanah adalah milik Raja dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah milik Raja sebagai penyewa. Konsepsi Negara sebagai pemilik tanah dijumpai juga dalam konsepsi Negara Komunis sebagaimana ditemukan dalam hukum tanah di Rusia yang mulai diterapkan setelah golongan komunis berhasil merebut kekuasaaan pemerintahan pada tahun 1917.

Negara Republik Indonesia bukan Negara yang berkonsepsi feodal dan juga bukan Negara yang berkonsepsi komunis, oleh karena itu asumsi Pemko Medan bahwa tanah HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah yang dikuasai Pemko Medan tersebut adalah merupakan barang milik Pemko Medan adalah suatu pemahaman yang tidak baik dan tidak benar dari sudut pandang UUDNRI Tahun 1945 dan UUPA.
3.Pemko Medan harus tunduk kepada Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, UUPA UU CIPTA KERJA, PP 18/2021 dan PERMENATR/KABPN 18/2021 karena HPL bukan aset atau barang milik Pemko Medan.

Oleh karena HPL itu bukan aset atau barang milik Pemko Medan sebagaimana ditentukan oleh UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020, dan PERMENDAGRI 19/2016 seperti diuraikan di atas maka Pemko Medan selaku pemegang HPL seharusnya tidak tunduk kepada ketentuan terkait aset atau barang milik daerah sebagaimana ditentukan oleh UU 1/2004, PP 27/2014, PP 28/2020, dan PERMENDAGRI 19/2016.
Selaku pemegang HPL atau penerima pelimpahan kewenangan dari Hak Menguasai Negara (medebewind) Pemko Medan seharusnya tunduk dan patuh kepada Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, UUPA, UU CIPTA KERJA, PP 18/2021 dan PERMENATR/KABPN 18/2021.
4.HPL No. 1, 2 dan 3 Petisah Tengah yang dipegang oleh Pemko Medan dapat dihapuskan.

Menurut UU CIPTA KERJA dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat membatalkan dan/ atau mencabut HPL sebagian atau seluruhnya. Tata cara pembatalan HPL dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan dan/atau pencabutan HPL ini diatur dalam PP 18/2021.

Menurut PP 18/2021 ditentukan bahwa salah satu sebab HPL hapus adalah karena dibatalkan haknya oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia karena cacat administrasi. Yang dimaksud dengan cacat administrasi adalah cacat substansi, cacat yuridis, cacat prosedur, dan/atau cacat kewenangan.

Berdasarkan ketentuan PP 18/2021 tersebut, Sertipikat HPL Nomor 1, Nomor 2 dan Nomor 3,  yang dipegang oleh Pemko Medan, yang terletak di Kelurahan Petisah Tengah, seluas 40 (empat puluh) Hektar, telah memenuhi persyaratan hukum untuk dihapuskan dengan cara dibatalkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia karena pelaksanaan kewenangan HPL oleh Pemko Medan telah mengalami cacat kewenangan atau yuridis.

Cacat kewenangan ditemukan karena Pemko Medan telah melampaui kewenangan yang dilimpahkan kepadanya dengan menerbitkan Hak Sewa untuk jangka waktu 5 (lima) tahun di atas HPL yang dipegangnya tersebut di atas.
Dikatakan telah melampaui kewenangan karena PP 18/2021 sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada Pemegang HPL (termasuk Pemko Medan) untuk memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah HPL untuk dikerjasamakan dengan pihak lain dengan memberikan Hak Sewa untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan PP 18/2021 juga sama sekali tidak mengatur dan tidak mengenal Hak Sewa di atas HPL. PP 18/2021 hanya mengatur dan mengenal Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) di atas HPL.

Menurut PP 18/2021 disebutkan bahwa HPL yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
Hak Guna Bangunan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan/atau Hak Pakai untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sesuai dengan sifat dan fungsinya.

Selanjutnya menurut PERMENATR/KABPN 18/2021 ditentukan bahwa kewenangan penetapan HPL  dan penetapan hak atas tanah berupa pemberian hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai di atas tanah Negara atau hak pengelolaan berada di tangan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bukan di tangan Pemko Medan, oleh karena itu apapun alasannya Pemko Medan tidak berwenang memberikan hak-hak atas tanah termasuk Hak Sewa di atas HPL yang dipegangnya.

Cacat kewenangan Pemko Medan yang melampaui kewenangan yang dilimpahkan kepadanya juga ditemukan atas penolakan Pemko Medan untuk memberikan rekomendasi perpanjangan HGB yang telah berakhir di atas tanah HPL yang dipegangnya karena menurut PERMENATR/KABPN 18/2021 salah satu syarat perpanjangan dan/atau pembaruan HGB di atas tanah HPL adalah surat rekomendasi mengenai perpanjangan dan/atau pembaruan HGB dari pemegang HPL.

Seharusnya Pemko Medan tidak boleh menolak memberikan rekomendasi karena pemberian rekomendasi oleh Pemko Medan adalah hak dari pemegang HGB dan hak ini dijamin oleh PP 18/2021 yang mengatakan bahwa pemegang hak di atas HPL dijamin memperoleh perpanjangan dan/atau pembaruan hak dari pemegang HPL yang dicantumkan dalam perjanjian pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jaminan yang sama juga diatur dalam PERMENATR/KABPN 18/2021,  yang antara lain menentukan bahwa HPL yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain dapat diberikan hak atas tanah.

Pemberian hak atas tanah kepada pihak lain dilakukan berdasarkan kerjasama dengan perjanjian pemanfaatan tanah. Perjanjian pemanfaatan tanah antara pemegang HPL dengan pihak lain memuat jaminan pemegang hak atas tanah di atas HPL untuk memperoleh perpanjangan dan/atau pembaruan dari pemegang HPL.

Cacat kewenangan dan atau cacat yuridis adalah alasan yang sah dan berdasar menurut hukum untuk menghapuskan HPL Pemko Medan dan atau mencabut kewenangan Pemko Medan dalam memberikan rekomendasi atas perpanjangan HGB di atas HPL Petisah Tengah Medan.

Editor : Teuku/*

LAINNYA
x