BICARAINDONESIA-Jakarta : Hari ini kembali digelar aksi Kamisan yang ke-828. Aksi kali ini bergemuruh, karena lautan massa yang terdiri dari kalangan aktivis, akademisi, mahasiswa, hingga pegiat hak asasi manusia (HAM) hadir di depan Istana Kepresidenan, Kamis (22/8/2024).
Mereka hadir dengan baju serba hitam untuk menyuarakan berbagai persoalan yang terjadi di rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu yang hadir ialah anak dari Proklamator Indonesia Moh Hatta, Halida Hatta. Ada juga Sumarsih hingga Usman Hamid.
Sejumlah peserta Kamisan membawa poster yang bertuliskan ‘telah mati demokrasi’, ‘Sudahlah, Pak, kami sudah muak #tolakpolitikdinasti’, hingga ‘Lawan Elite Pembegal Konstitusi’.
Aktivis HAM Usman Hamid yang memberikan orasi pada momen ini membeberkan ‘tujuh dosa besar’ Jokowi di depan massa aksi Kamisan. Dosa pertama, merepresi publik melalui berbagai undang-undang, seperti UU Cipta Kerja dan KUHP. Doaa kedua, pemerintah mengangkangi otonomi daerah.
Menurut Usman, otonomi daerah merupakan warisan Reformasi 1998 yang kini justru dikangkangi oleh Jokowi. “Pemda ambil alih otonomi daerah dalam pengambilan keputusan sendiri untuk kepentingan oligarki,” kata Usman.
Dosa ketiga, pemerintah melemahkan oposisi di parlemen. Dosa keempat, melemahkan peran media massa. Dosa kelima, mengerdilkan kredibilitas penegak hukum.
“Dosa keenam adalah memecah belah masyarakat. Dari mulai isu radikalisme hingga ekstremisme. Dosa ketujuh, adalah pemerintahan Jokowi merusak integritas pemilu” kata Usman.
“Jangan diam, lawan Jokowi!” imbuhnya.
Pada saat yang sama, hari ini mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat sipil juga menggelar aksi besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Mereka menolak pengesahan revisi UU Pilkada yang justru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun Kamisan merupakan aksi rutin setiap Kamis yang dilakukan keluarga korban kasus HAM berat dan simpatisan di seberang Istana Kepresidenan sejak 18 Januari 2007.
Mereka terus menyuarakan tuntutan kepada negara untuk menuntaskan kasus HAM berat dan penghilangan paksa, seperti Tragedi Semanggi I dan II 1998 dan penculikan aktivis di era Orde Baru.
Editor: Rizki Audina/*