BICARAINDONESIA-Jakarta : Meningkatnya serangan OPT, kerusakan tanaman, dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi akibat cuaca ekstrem, telah menyebabkan pasokan cabai rawit berkurang. Alhasil, kondisi ini memicu kenaikan harga.
Karena itu, keliru yang mengatakan bahwa penyebab kenaikan dikarenakan tidak adanya produksi. Produksi tetap ada, petani tetap menanam cabai rawit walaupun memang ada penurunan luas tanam sebagai akibat dari harga sepanjang tahun 2020 yang kurang kompetitif.
Mengacu pada arahan Mentan Syahrul Yasin Limpo agar Kementan menjamin ketersediaan komoditas pangan strategis, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto menggerakkan seluruh jajarannya untuk memonitor kondisi pertanaman cabai di lapangan dan melakukan upaya-upaya untuk meredam gejolak harga agar tidak berkepanjangan.
Pria yang akrab disapa Anton ini juga menjelaskan bahwa berdasarkan data series produksi 5 tahun terakhir, produksi cabai rawit pada bulan Desember-Februari adalah bulan waspada karena produksi cenderung menurun dibanding bulan-bulan lainnya.
“Untuk saat ini dengan adanya cuaca ekstrim (La Nina) semakin menyebabkan produksi terganggu. Seperti bunga rontok menyebabkan gagal berbuah. Proses pemasakan buah menjadi lebih lama karena kurangnya intensitas cahaya matahari,” paparnya, Senin (8/3/2021).
Selain itu, lanjutnya, produktif tanaman juga menjadi lebih pendek. Jika biasanya 12-20 kali petik saat ini hanya 8-12 kali petik karena pematangan buah menambah hari petik yang biasanya 4 hari bisa 7 sd 8 hari per sekali petik.
“Tak hanya itu, musim hujan juga meningkatkan serangan OPT seperti virus kuning, antraknosa, lalat buah, dan lain sebagainya,” ujar Anton.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serangan OPT terbanyak adalah virus kuning 26%, Antraknosa 29%, Lalat buah 17%, Virus keriting 16%, dan Thrip 12% dari luas pertanaman yang ada. Sehingga secara nasional luas pertanaman cabai yang terkena serangan OPT saat ini sebanyak 1.152 ha dan puso 0,15 ha.
Virus kuning menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak produktif. Jika tanaman yang terserang masih bertahan, maka produktivitasnya menurun 20-30%. Sedangkan serangan antraknosa dan lalat buah yang masif mendorong petani untuk memanen buah sebelum waktunya sehingga kualitas buah menjadi turun.
Cuaca ekstrim tersebut juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah sentra produksi cabai. Dampaknya? pertanaman rusak bahkan puso. Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Hortikultura, total luas pertanaman cabai nasional yang banjir dan puso pada bulan Oktober s.d Desember 2020 seluas 431 hektar yang tersebar di Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Januari s.d Februari 2021 seluas 404,7 ha yakni di Kalsel, Sumut, Sumbar, Sulteng, Kalbar, Jambi, Jatim, dan NTT.
Ketua Asosiasi Cabai Indonesia, Hamid dan Juhara salah satu champion Cabai, membenarkan hal tersebut. Pihaknya menjelaskan bahwa berdasarkan pantauan dari seluruh anggota perwakilan di daerah sentra, berkurangnya produksi cabai saat ini juga dikarenakan berkurangnya luas tanam.
Petani sempat merugi karena rendahnya harga cabai akibat pandemi covid-19 yang terjadi pada bulan Maret s.d September 2020. Hal tersebut membuat banyak petani tidak balik modal bahkan merugi. Sehingga pada musim tanam saat ini mereka mengurangi populasi pertanaman cabainya. Luas tanamnya berkurang, sehingga produksi juga berkurang. Jadi efek berantai tersebut menjadi akumulasi terhadap penurunan produksi.
Berdasarkan Data Early Warning System (EWS) Direktorat Jenderal Hortikultura, diprediksi neraca ketersediaan cabai rawit aman pada bulan Maret hingga Mei mendatang. “Surplus produksi pada bulan ini diperkirakan sebanyak 12 ribu ton, dan akan meningkat pada bulan April sebanyak 42 ribu ton, serta Mei sebanyak 48 ribu ton,” beber Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraja.
Berbagai upaya yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura dalam menjaga stabilisasi pasokan dan harga, katanya, adalah mendorong petani untuk menerapkan inovasi rainshelter pada penanaman cabai off season (Juli-Agustus).
“Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stok berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan Pemerintah. Melakukan kerjasama dengan offtaker yang mampu memindahkan produksi dari daerah-daerah yang surplus produksi ke daerah yang kekurangan produksi serta mampu menyerap produk petani disaat harga jatuh sehingga petani tetap berminat untuk selalu bertanam sepanjang tahun,” jelas Tommy.
Selain itu, juga melakukan edukasi ke masyarakat untuk mengkonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus), sehingga tidak tergantung kepada cabai segar. Masyarakat juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan, sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran.
“Dalam mengimplementasikan berbagai upaya tersebut, tentu harus ada sinergi dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah sebagai pengambil kebijakan, petani sebagai produsen, namun juga perlu peran konsumen. Perlu adanya kerjasama dalam melakukan edukasi terhadap konsumen untuk mengubah pola konsumsinya,” tutupnya.
Editor : Yudis/rel
No Comments