BICARAINDONESIA-Medan : Saat ini dunia dikejutkan dan dipusingkan dengan mewabahnya virus yang bernama corona atau dikenal dengan istilah covid-19 (Corona Virus diseases-2019). Virus yang disinyalir mulai mewabah 31 Desember 2019 di Kota Wuhan Provinsi Hubei Tiongkok, saat ini menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia dengan sangat cepat, sehingga WHO menetapkan wabah ini sebagai pandemi global.
Ratusan ribu manusia terpapar virus ini di seluruh dunia, bahkan menjadi korban meninggal dunia. Penularan lewat kontak antar manusia yang sulit diprediksi akibat kegiatan sosial yang tidak bisa dihindari diyakini sebagai penyebab utama menyebarnya covid-19 ini.
Obat penawar yang belum ditemukan dan membludaknya jumlah pasien yang terpapar covid-19 membuat rumah sakit dan paramedis yang menagani merasa kewalahan sehingga banyak pasien yang tidak tertangani dengan baik.
Rumitnya penanganan wabah ini membuat para pemimpin dunia menerapkan kebijakan yang super ketat untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Social distancing menjadi pilihan berat bagi setiap negara dalam menerapkan kebijakan untuk pencegahan penyebaran covid-19, karena kebijakan ini berdampak negatif terhadap segala aspek kehidupan.
Pembatasan interaksi social masyarakat dapat menghambat laju pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, namun tidak ada pilihan lain, karena cara ini adalah yang paling efektif.
Kebijakan social distancing berakibat fatal terhadap roda kehidupan manusia, masalah ekonomi yang paling terasa dampaknya, karena hal ini menyentuh berbagai lapisan masyarakat.
Tak terkecuali bidang pendidikan ikut juga terdampak kebijakan ini. Keputusan pemerintah yang mendadak dengan meliburkan atau memindahkan proses belajar, membuat kelimpungan banyak pihak.
Ketidaksiapan sarana dan prasarana dalam melaksanakan pembelajaran daring menjadi faktor utama kekacauan ini.
Begitu juga yang dirasakan oleh civitas akademika Universitas Dharmawangsa. Akibat pandemi ini, seluruh aktivitas di kampus ini berjalan tidak normal.
“Kita masih berharap pandemic ini segera berakhir, memang untuk kalender semester genap ini belum berakhir, ujian akhir semester sekitar bulan juli nanti,” ujar Dr.Kariaman Sinaga S.Sos.M.AP, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Dharmawangsa Medan, baru-baru ini.
Menurutnya, pelaksanaan perkuliahan nantinya menunggu situasi secara nasional. “Pelaksanaan perkuliahan masih menunggu situasi secara nasional dan menunggu kebijakan dari Rektorat, namun informasi yang kita peroleh, ada dua alternatif yang akan diterapkan, yang pertama, tetap melaksanakan perkuliahan daring dan yang kedua, mungkin saja perkuliahan kembali seperti biasa dengan menggunakan standart protocol kesehatan dan melakukan penyederhanaan jumlah mahasiswa di kelas, dari yang biasanya 40-50 orang per kelasnya, dirampingkan menjadi 30 orang untuk menjaga jarak,” jelasnya.
Namun menurutnya, hingga saat ini belum ada keputusan yang keluar dari pihak rektorat, sehingga perkuliahan masih tetap menggunakan metode daring.
“Hingga kini belum ada keputusan resmi dari pimpinan kita di Rektorat, mungkin saja masih melihat situasi sekarang, dan pelaksanaan kuliah masih menggunakan metode daring, mungkin hingga akhir semester genap,” terangnya.
Dampak Corona
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan 50 persen mahasiswa tidak sanggup membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) karena dampak wabah covid-19 atau virus corona.
“Rata-rata 50 persen mahasiswa di PTS tidak mampu membayar SPP. Ini dampaknya luar biasa. Sebentar lagi kami juga akan buat surat ke presiden karena dampaknya sangat signifikan,” ujarnya.
Budi mengatakan dampak mahasiswa tidak bisa bayar SPP membuat banyak PTS terancam tidak mampu membayar upah dosen dalam waktu dekat. Kasus ini terjadi khususnya pada kampus skala kecil dan menengah. Di mana menurut Budi, setidaknya 75 persen PTS di Indonesia berskala kecil, 20 persen menengah dan 5 persen besar.
Berdasarkan persoalan ini pihaknya meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi subsidi kepada PTS, terlebih selama pandemi corona. Ia mengklaim selama ini pihaknya tidak mendapat dukungan selayak yang didapatkan PTN. “Pemerintah kita dari dulu gagal paham. Anggaran perguruan tinggi di Kemendikbud 90 persen untuk PTN, yang jumlahnya hanya 7 persen. 10 persen untuk PTS, yang jumlahnya 93 persen,” ujarnya.
Budi menjelaskan gagal paham yang dimaksud karena sebenarnya masyarakat tingkat ekonomi rendah paling banyak kuliah di PTS. Hal ini sebanding dengan jumlah PTS kecil yang mendominasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Penulis / Editor : Amri
No Comments