BICARAINDONESIA-Jakarta : Isu resesi global yang semakin menguat membuat harga minyak mentah tertekan. Pada Selasa (11/10/22), harga minyak mentah kembali ambrol di perdagangan. Hal tersebut melanjutkan penurunan awal pekan lalu.
Dikutip dari cnbcindonesia.com, data Refinitiv menyebutkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent ambrol 2% ke US$ 89,35/barel dan US$ 94,29/barel masing-masingnya. Pada Rabu (12/10/2022) pukul 6:56 WIB, WTI kembali turun 0,8% ke US$ 88.64/barel, sedangkan perdagangan Brent masih belum dibuka.
Presiden Bank Dunia David Malpass dan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperingatkan risiko resesi global yang terus meningkat dan inflasi masih akan terus menjadi masalah.
Saat resesi terjadi, maka permintaan minyak mentah tentunya akan menurun. “Pesimisme di pasar terhadap perekonomian dunia semakin membesar,” kata Craig Erlam dari OANDA.
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,9%. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini tidak berubah, yakni pada 3,2%. IMF memastikan, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2023 adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali masa pandemi Covid-19 dan krisis keuangan global.
Pelemahan ini dipicu oleh inflasi yang lebih tinggi dalam beberapa dekade terakhir, serta ketatnya kondisi keuangan di sejumlah wilayah, invasi Rusia di Ukraina dan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Kekhawatiran akan penurunan permintaan dari China kembali muncul. Sebagai salah satu konsumen minyak mentah terbesar di dunia, ketika permintaannya turun, maka akan berdampak cukup signifikan.
Infeksi penyakit akibat Covid-19 kembali meningkat di Shanghai dan kota-kota besar lainnya. China menerapkan kebijakan zero Covid-19, sehingga ketika terjadi kenaikan kasus, karantina wilayah akan dilakukan. Hal ini tentunya menurunkan aktivitas bisnis dan pada akhirnya permintaan minyak mentah menjadi berkurang.
Editor: Rizki Audina
No Comments