BICARAINDONESIA-Jambi : Banyaknya pengalihfusian lahan pertanian menjadi lahan penambangan emas ilegal, membuat Provinsi Jambi defisit kebutuhan beras selama bertahun-tahun.
Dikutip dari Kompascom, Jambi telah kehilangan hampir 80 persen lahan pertaniannya dalam satu dekade terakhir. Hal itu disampaikan oleh Kabid Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Provinsi Jambi Khairul Asrori.
Berdasarkan data, kebutuhan beras di Jambi dengan penduduk sekitar 3.677.678 jiwa, yaitu sebanyak 89,7 kilogram/kapita/tahun atau sekitar 329.888 ton. Sementara itu, produksi gabah kering giling (GKG) tahun lalu, hanya 298.149 ton, jika dikonversi ke beras sekitar 193.797 ton.
Lebih lanjut, Khairul mengatakan bahwa produksi padi saat ini terus mengalami penurunan seiring dengan meyusutnya luas lahan pertanian.
Produksi padi pada 2019 lalu sekitar 309.933 ton. Angka tersebut sempat melonjak pada tahun berikutnya menjadi 386.413 ton. Namun, tahun selanjutnya, secara beruntut merosot ke angka 298.149 hektar dan terus melandai pada 2022 dengan angka sekitar 289.277 ton.
Sebagai betuk antisipasi dari kehilangan lahan pangan, pemerintah telah membentuk peraturan daerah. Pemerintah Jambi menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), kemudian disusun peta lahan sawah dilindungi (LSD).
Pasalnya, sawah-sawah yang termasuk di LP2B ada yang beralih fungsi menjadi tambang emas di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo.
Setelah pemetaan oleh Kementrian ATR/BPN selesai, sawah di Jambi dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah dan nasional.
“Jadi, sawah-sawah yang potensial itu nantinya akan dilindungi, seperti halnya hutan lindung. Tidak boleh sampai beralih fungsi baik untuk perkebunan, pemukiman, maupun penambangan emas,” kata Khairul.
Menurutnya, kondisi pertanian saat ini amat memprihatinkan. Selain alih fungsi lahan, terputusnya regenerasi petani dan melemahnya hak-hak petani juga menjadi ancaman bagi pertanian.
Stigma masyarakat yang menyebut petani itu kuno dan miskin, membuat anak muda enggan menggeluti pertanian.
“Kita semua tahu, setiap orang butuh makan. Makanan lezat tidak akan terhidang ke meja, jika tidak ada petani yang bekerja. Namun, hak-hak petani terabaikan,” ujar Khairul.
Selama ini, untuk mendorong petani tetap bertahan, pemerintah telah memberikan bantuan bibit, pupuk subsidi, dan penanganan hama. Sebagai komoditas yang diatur penjualannya di pasaran, memang petani tidak mendapatkan keuntungan banyak. Oleh karena itu, profesi petani rawan ditinggalkan, untuk mencari sumber ekonomi yang lebih baik.
“Tentu secara ekonomi padi itu sangat rendah, jika dibandingkan dengan sawit dan karet. Belakangan yang menjadi primadona orang bongkar sawah, ya, karena harga emas tinggi. Jauh lebih mahal ketimbang beras. Ini juga menjadi persoalan serius bagi petani dan ketahanan pangan,” tandas Khairul.
Editor: Rizki Audina/*