BICARAINDONESIA-Mekkah : Dalam beberapa hari terakhir, media sosial dihebohkan dengan postingan terkait kabar ratusan jemaah haji khususnya asal Sumatera Utara yang dikabarkan terlantar, kesulitan makan, fasilitas yang minim dan lain sebagainya baik dari Arafah, Muzdalifah dan Mina.
Namun faktanya, tidak semua kabar itu benar. Hal itu disampaikan Dr Aswan Jaya, seorang Petugas Haji Daerah (PHD) Sumatera Utara yang mengaku menyaksikan langsung apa yang terjadi di tanah suci sebenarnya, termasuk pada saat puncak ibadah haji di Arafah dan Muzdalifah.
“Dalam kesempatan ini perlu saya sampaikan dalam kesaksian langsung saya sebagai petugas haji daerah Sumut, saat di arafah dalam pelaksanaan ibadah wuquf berlangsung dengan baik, seluruh rangkaian ibadah mulai dari khutbah arafah dan wuquf itu sendiri berlangsung dengan khitmat dari makhtab masing-masing, makan dan minum tercukupi dengan baik,” ungkapnya melalui rilis yang diterima Redaksi Bicaraindonesia, Jumat malam (30/6/2023) sekitar pukul 19.26 WIB.
Menurut Aswan, di muzdalifah, memang penjemputan sedikit tersendat dan menguras energi jemaah karena situasi panas.
“Soal makan malam saat di muzdalifah memang tidak ada tetapi jemaah sudah makan malam di arafah. Minuman di muzdalifah sesungguhnya cukup, bahkan kalau dilihat kasat mata minuman berserakan, memang tidak ada serapan pagi sebab karena asumsinya sarapan disediakan di Mina, tetapi disebabkan penjemputan tersendat hingga siang hari menyebabkan banyak jemaah terutama lansia yang tidak kuat menahan suhu panas karena harus terus antrean menunggu jemputan yang tersendat,” urai pria yang berprofesi sebagai dosen dan politisi ini.
“Alhamdulillah seluruh jemaah terbawa ke Mina walau sampai tengah hari. Masing-masing kloter memiliki tenaga medis untuk terus mengantisipasi jemaah yang kelelahan dan beberap jatuh pingsan, tetapi cepat ditangani, kalau ada petugas kesehatan yang mengeluhkan soal itu berarti petugas tersebut tidak bekerja sesuai tugasnya sebagai tim kesehatan haji Indonesia,” imbuhnya.
Di Mina, sambungnya, seperti yang diberitakan di salah satu media menyatakan kapasitas 200 orang di isi 450 orang dan yang sangat disayangkan dinyatakan oleh salah satu anggota DPD RI adalah hoax yang sangat besar.
“Sebab setiap kloter jumlahnya hanya 360 jemaah dan masing-masing kloter mendapatkan 3-4 tenda. Jadi tidak mungkin sampai 460 jemaah pertenda, gak masuk akal berita itu,” tegasnya.
Jemaah yang tidur di luar tenda itu, lanjut Aswan, bukan jemaah yang terlantar tetapi jemaah itu sendiri yang memilih tidur di luar disebabkan lebih nyaman.
“Sebab harus diakui satu tenda yang diisi oleh puluhan orang, sebanyak-banyaknya 65 orang tentu bagi jemaah yang tak terbiasa hidup berjemaah dan sederhana pastilah akan tidak nyaman menghadapi situasi itu,” tukasnya.
Lebih jauh Aswan Jaya menyebutkan, sudah jelas dinyatakan dalam Alquran bahwa haji itu ibadah fisik yang membutuhkan kemampuan fisik itu sendiri sehingga benar-benar harus istitoah, membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.
“Memang terjadi berbagai dinamika selama pelaksanaan puncak haji, dinamika itu masih sangat wajar dan dalam dimaklumi karena di tengah ratusan ribu bahkan jutaan jemaah haji yang berkumpul dalam waktu yang bersamaan di tempat yang sama, pastilah ada dinamika dan berbagai hal yang mungkin tidak diharapkan,” ucapnya.
Karena itu, sambung Aswan, kesabaran dan kaihlasan menjadi kunci mendapatkan haji yang Mabrur.
“Semoga seluruh jemaah mendapatkan haji yang Mabrur. Sebagai evaluasi untuk tahun depan pemerintah harus selektif betul dalam membuat standar istitoah jemaah haji sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah,” pungkasnya.
Penulis/Editor : Ty