x

Kejujuran Komisaris Askrida Didik Supriyanto Ungkap Biaya Komisi Ditunggu!

5 minutes reading
Tuesday, 28 Mar 2023 08:07 0 601 admin

BICARAINDONESIA-Jakarta : Kasus dugaan aliran dana biaya komisi dari PT Asuransi Bangun Askrida kepada Gubernur se-Indonesia, terus menjadi sorotan. Namun hingga Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) selesai dilaksanakan, belum ada informasi keterbukaan publik tentang aliran dana biaya komisi yang nilainya mencapai Rp4,4 triliun dalam kurun waktu 2018-2022.

Askrida secara korporasi dan pihak-pihak didalamnya juga mendadak bungkam.
Padahal, ada dua orang komisaris dari unsur media di dalam Askrida, yakni Mukhlis Hasyim pemilik inilah.com sekaligus pemilik percetakan yang pernah mencetak tabloid oborrakyat pada 2019 dan Didik Supriyanto mantan Pemred merdeka.com yang tercatat pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) masa bakti 2017-2022.

Anehnya, Didik Supriyanto, di tahun 2021, saat menjabat komisioner DKPP merangkap jabatan sebagai komisaris PT Asuransi Bangun Askrida. Dan ada informasi yang menarik dalam link profilnya di DKPP berikut isinya.

Askrida Tower di Jl. Pramuka, Jakarta Timur/foto : teuku

Sosok Didik

Meski tidak asing dengan dunia kepemiluan, Didik Supriyanto seperti ‘mimpi di siang bolong’ saat menerima selembar surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30/P Tahun 2020 yang menunjuk dirinya sebagai Anggota DKPP menggantikan Dr. Harjono untuk sisa masa bakti 2017-2022.

“Saya tidak pernah ditanya, tidak pernah ditawari, dan tidak pernah dikabari. Tahu-tahu dikasih ini (fotokopi Kepres) oleh Pak Bernad (Sekretaris DKPP, red). Kaget dan tidak percaya, sampai harus cek sana cek sini untuk memastikan kebenarannya,” cerita Didik sambil tersenyum.

Bagi pria kelahiran Tuban, 6 Juli 1966 ini, kehadiran DKPP dalam sistem kepemiluan di Indonesia tidak lain untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Dengan koridor tersebut akan lahir penyelenggara pemilu yang bermartabat.

Paling tidak ada tiga syarat mutlak penyelenggara pemilu yang profesional. Pertama sebagai fondasi dan tidak bisa ditawar adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki penyelenggara pemilu.

Kedua adalah menyangkut konsitensi serta ‘gantungan’ hidup. Dari pengamatan Didik, masih banyak penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten, kota, serta provinsi yang memiliki pekerjaan sampingan.

Didik khawatir kondisi tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Oleh karena itu, sebagai penyelenggara pemilu seharusnya fokus pada bidang kepemiluan dari awal hingga akhir.

“Sebagai ilustrasi pemain sepak bola profesional hidup matinya ada di dunia sepak bola. Kalau penyelenggara profesional ya hidup atau matinya di situ (pemilu),” tegas Didik.

Syarat penyelenggara pemilu profesional ketiga adalah kode etik. Kerangka kode etik ini menjadi pedoman dan batasan penyelenggara pemilu berperilaku. “Kalau dia bekerja tanpa kode etik, dia bukan pekerja profesional.”

Selain kepemiluan, Didik pernah pemimpin redaksi (Pemred) sejumlah media ternama tanah air, cetak maupun daring. Bapak dua orang putera penggemar kopi hitam ini produktif menulis. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya puluhan buku serta jurnal ilmiah.

“Ketika ada yang tanya, Mas Didik di DKPP nanti mau ngapain? Yah mau menegakkan kode etik, tugas DKPP kan itu sesuai dengan Undang-Undang,” tutup Anggota Panitia Pengawas Pemilu Pusat (Bawaslu sekarang, red) 2004 ini.

Didik adalah seorang pemimpin yang sangat demokratis dan memberdayakan staf yang bekerja bersamanya. Dia memberi kepercayaan yang kepada semua staf tanpa pandang bulu untuk mengambil kesempatan menjadi pemimpin. Dia juga selalu mendorong staf untuk ikut dalam peningkatan kapasitas.

Kemampuannya menulis selalu ditularkannya pada seluruh staf. Didik adalah sosok pemimpin yang egaliter dan mengayomi. Dengan semangat belajar yang sangat kuat dan ketekunan luar biasa. Selain itu tidak “ribet” dan jauh dari birokratis. Mau mendengar dan bertukar pikiran dengan siapapun.

Semoga bisa jujur dan terbuka kepada masyarakat Indonesia tentang aliran biaya komisi dari PT Asuransi Bangun Askrida.

Diungkap IAW

Kasus Askrida semakin menarik karena sejumlah artis ternama di tanah air diduga ikut menikmati hasil biaya komisi dari PT Asuransi Bangun Askrida. Hal itu terungkap saat Indonesia Audit Watch (IAW) melaporkan kasus ini KPK.

Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus mengaku menemukan modus renomine atau menitipkan harta kepada para artis-artis.

“Bisa lewat endorse dengan nilai tak masuk akal hanya satu posting nilainya bisa Rp1 miliar seperti mbak Pepe, dan adanya usa-usaha seperti skin care, petshop, barang antik, tas mewah dan otomotif bermunculan,”ucap Iskandar Sitorus.

Banyaknya para youtuber yang tiba-tiba muncul dengan kemewahannya juga menjadi tanda tanya karena tidak ada ekspose dari Ditjen Pajak tentang para youtuber ini.

“Belum pernah Dirjen pajak mengekspose para youtuber, sosialita yang tiba-tiba kaya tanpa diketahui asal kekayaanya ini diduga terkait adanya pencucian uang ,” jelasnya menduga para gubernur yang mendapat biaya komisi dari PT Asuransi Bangun Askrida  membuat usaha-usaha seperti skincare, otomotif, tas mewah dan petshop.

Sementara Arief Poyuono dari SP BUMN juga menduga aksi Bancakan di dana pensiun (Dapen)melalui asuransi.

“Maka dari itu, selain Kejagung dan KPK yang harus turun tangan untuk menyelidiki dugaan kesalahan tata kelola dapen itu, juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar melakukan audit kondisi keuangan dan tata cara pengelolaan seluruh Dapen BPD beserta anak usahanya,”ucap Arief.

Dugaan Bancakan juga tak tanggung-tangung Arief Poyuono menyebut nama perusahaanya.

“Salah satunya adalah PT Asuransi Bangun Askrida. Sudah lama PT Askrida dijadikan alat untuk bancakan oknum pengurus Dapen dan beberapa Pemprov,” tuturnya.

Dengan modus dapen BPD se-Indonesia seperti itu, malah membuat Askrida sebagai alat bancakan. Karena Arief mencatat adanya temuan laporan audit yang diakali dengan modus utang yang diklaim hingga Rp1,8 triliun tidak tercatat, serta komisi asuransi senilai kurang lebih Rp800 miliar diduga dibagi-bagi ke oknum pejabat kepala daerah.

“Sehingga jika OJK tidak segera turun tangan pasti akan terjadi bencana yang sama parahnya dengan Jiwasraya dan Asabri dan tentunya membuktikan tidak optimalnya kerja OJK dalam mengawasi pengelolaan dana pensiun di BPD-BPD dan BUMN,” ungkapnya.

Penulis/Editor : Teuku

LAINNYA
x