BICARAINDONESIA-Jakarta : Pada perdagangan Rabu (8/2/2023), batu kontrak Maret di Pasar ICE Newcastle ditutup dengan harga US$229 per ton. Harga tersebut jatuh 8,89% dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Dua hari sebelumnya, harga batu bara melambung 12,96%. Penyebab kembali turunnya harga batu bara adalah aksi profit taking, anjloknya harga gas, serta proyeksi melemahnya permintaan.
Diketahui, harga gas alam EU Dutch TTF (EUR) jatuh 3,10% ke posisi 53,69 euro per mega-watt hour (MWh) pada perdagangan kemarin. Harga tersebut adalah yang terendah sejak awal September 2021 lalu.
Batu bara merupakan sumber energi alternatif bagi gas sehingga harganya saling memengaruhi. Melandainya harga gas disebabkan banyaknya pasokan gas, padahal musim dingin akan segera berakhir. Pasokan gas di Eropa rata-rata ada berada pada angka 69%.
Selain itu, melandainya harga batu bara juga disebabkan oleh banyaknya proyeksi akan melemahnya permintaan pasir hitam. Merujuk pada laporan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), kapasitas pembangkit listrik batu bara di negara tersebut akan diturunkan sebanyak 8,9 Giga Watt (GW) pada tahun ini.
Amerika Serikat (AS) memang terus mengurangi kapasitas pembangkit listrik batu baranya. Sebanyak 11 GW kapasitas diturunkan pada 2015-2020, sedangkan angkanya melonjak menjadi 11, 5 GW pada 2022.
Penurunan permintaan juga diperkirakan datang dari Uni Eropa. Hal tersebut dengan meningkatnya kapasitas gas serta produksi listrik dari pembangkit tenaga angin.
Di tahun 2022, kapasitas listrik dari pembangkit batu bara di Uni Eropa naik 6% karena gangguan pasokan gas. EIA memperkirakan, kapasitas pembangkit batu bara di Uni Eropa akan turun tajam dalam tiga tahun mendatang. Termasuk di Jerman, Prancis, dan Inggris.
Kapasitas pembangkit batu bara akan turun menjadi 141 GW pada musim dingin 2023-2024, dari 146 GW pada musim dingin 2022/2023. Sebaliknya, kapasitas listrik dari energi baru terbarukan melonjak 34% pada 2022 dan akan naik pada tahun ini.
Direktur dan Sekretaris PT Bumi Resources Dileep Srivastava memperkirakan, harga batu bara akan bertahan di level seperti saat ini.
“Namun, hal itu juga tergantung dari intensitas musim panas, hujan, hambatan infrastruktur, supply demand, dan aktor geopolitik. Juga tergantung kemampuan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan,” tutur Dileep.
Editor: Rizki Audina/*