BICARAINDONESIA-Jakarta : Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan menuai polemik di kalangan pelaku usaha. Seperti diketahui pemerintah telah mengesahkan PP Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey menyayangkan PP Kesehatan yang seharusnya mereformasi dan membangun sistem dan layanan kesehatan sampai ke pelosok negeri, justru mematikan kegiatan ekonomi masyarakat.
PP Kesehatan yang disusun itu menurutnya mencampuradukkan sektor kesehatan dan ekonomi, seperti terkait pengaturan penjualan produk tembakau.
Roy mengatakan bahwa kesehatan dan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, upaya masyarakat mencari nafkah bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk pedagang dan pelaku usaha.
“Jadi tidak bisa, seolah-olah dalam kebijakan, kesehatan harus menang, ekonomi kalah, atau sebaiknya. Harus balance. Artinya, sebagai bagian turunan dari UU Kesehatan, ya seharusnya PP ini fokus lah mengatur kesehatan. Bukan mengatur sampai bagaimana harus berjualan, berdagang,” ujarnya dalam keterangannya, dikutip, Selasa (6/8/2024).
Aturan itu tertulis dalam PP Kesehatan yang tercantum dalam pasal 434 ayat (1) huruf c yang mencantumkan larangan menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang. Selain itu, pasal 434 ayat (1) huruf e menambahkan pengaturan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Roy juga mempertanyakan bagaimana implementasi PP Kesehatan terutama terkait zonasi pelarangan penjualan sejauh 200m.
“Bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana mengukurnya, mau pakai meteran? Apakah Satpol PP-nya turun ke lapangan, mengukur pakai meteran? Begitu juga dengan definisi tempat pendidikan yang sangat luas, apakah termasuk tempat kursus balet, kursus/bimbingan belajar, narasinya tidak spesifik. Maka, pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam PP Kesehatan ini akan multitafsir dan dapat menjadi pasal karet, karena tidak mudah dilaksanakan,” kata dia.
Menurut Roy, sejak 12 tahun lalu, sektor pertembakauan sudah sepakat dan disiplin menjalani implementasi aturan mengenai pengamanan zat adiktif yang tercantum dalam PP No 109 Tahun 2012, Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Baginya yang menjadi urgensi saat ini adalah penertiban rokok ilegal.
“Kenapa pemerintah tidak fokus membasmi rokok ilegal yang sedang marak saat ini? Kenapa yang membayar cukai, yang berkontribusi bagi penerimaan negara, bagi pembangunan, bagi investasi tidak dilindungi? Dampak regulasi ini sampai ke hulu, ke petani tembakau. Pemerintah tidak memikirkan mitigasinya,” kata Roy.
Dia juga mengatakan selama ini pelaku usaha pun tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan tersebut. Aprindo berharap pemerintah tidak mematikan ekonomi masyarakat dengan disahkannya PP Kesehatan ini.
“Kami sudah menaati, mulai dari pembatasan iklan, kami juga patuh menjual rokok untuk usia dewasa. Lah, kenapa sekarang ditambah pasal karet ini, yang ujungnya juga tidak dapat menjamin hilangnya rokok ilegal? Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan, tidak diajak bicara dan tidak tahu menahu soal sosialisasi peraturan ini” jelas dia.
Senada dengan Roy Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi menilai, sejumlah aturan bagi produk tembakau, khususnya larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta penjualan rokok eceran seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan akan mempersulit kondisi pedagang koperasi dan ritel yang tersebar di berbagai wilayah.
“Karena selama ini, rokok merupakan komoditas utama yang membantu omzet penjualan hingga 50%. Aturan ini jelas akan mempersulit pelaku usaha seperti kami,” ujar Anang.
Lebih lanjut, Anang mengatakan bahwa selama ini pembeli rokok dari para peritel adalah para konsumen dewasa yang berada di sekitar kawasan koperasi maupun pedagang ritel. Apalagi, banyak pedagang yang sudah ada terlebih dulu dibandingkan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak.
“Pemerintah seharusnya memikirkan posisi pedagang ritel yang sudah ada sebelum fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak tersebut didirikan,” jelas dia.
Selain itu, Anang juga menyatakan dengan adanya pelarangan tersebut terdapat potensi peralihan konsumsi ke rokok ilegal yang dapat menekan para peritel yang telah patuh untuk menjual rokok legal sesuai hukumnya. Penerapan regulasi ini dapat menyulitkan masyarakat dan pengawasannya juga masih menjadi pertanyaan.
“Masih banyak hal lain yang harus diurus oleh pemerintah daripada mengatur, apakah penjualan harus dilakukan secara eceran atau tidak? atau apakah penjualan boleh dilakukan dekat dengan lokasi tertentu?” kata dia.