Artikel ini memaparkan pengembangan model Heutagogy Problem based learning berbantuan Aplikasi Management System, sebagai untuk memenuhi tuntutan literasi digital revolusi industri 4.0 dan pembelajaran Abad 21 yang relevan dengan sistem pembelajaran daring di masa pandemi covid-19.
Kemajuan teknologi pada abad 21 bergerak pesat, negara memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki tiga pilar penting. Ketiga pilar tersebut, terdiri atas literasi, kompetensi, dan karakter. Era pembelajaran Abad 21 merupakan pembelajaran yang dituntut untuk memiliki kompetensi dalam menggunakan media internet sebagai pembelajaran digital.
Pendidikan yang diberikan di sekolah/kampus harus mampu menyesuaikan dengan tuntutan industri 4.0. Untuk mengawali proses adaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 pemerintah melakukan link and match antara pendidikan dengan industri untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan revolusi industri yang saat ini sedang berkembang. (Satya dkk, 2018:21).
Revolusi industri 4.0 menjadi sebuah tantangan baru bagi sekolah atau kampus untuk menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Dengan adanya Revolusi Industri 4.0 pembelajaran dapat diciptakan dengan lebih mudah, menyenangkan, serta efektif dan efisien.
Lembaga pendidikan yang tidak cepat beradaptasi dengan adanya perubahan ini akan tertinggal. Syarat utama bagi pengajar dalam digitalisasi sistem pendidikan adalah kemampuan pengajar dalam mengakses informasi, mengakses data, memanfaatkan, menyebarkan informasi dan membuat inovasi-inovasi baru dalam pendidikan melalui teknologi informasi.
Oleh sebab itu, diharapkan tidak ada lagi pengajar yang tidak bisa cara menggunakan internet, tidak bisa mengakses buku elektronik dan berbagai informasi, atau memanfaatkan internet untuk membuat media pembelajaran yang inovatif.
Rohmah (2019) memaparkan penguatan literasi digital dapat dilakukan dengan menjelaskan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam membantu melaksanakan tugas-tugas sebagai pengajar seperti berikut :
1. Penggunaan teknologi digital sebagai sumber belajar tambahan dengan adanya internet, informasi dapat diakses secara mudah dan cepat. Pengajar dapat menggunakan internet sebagai sumber belajar tambahan untuk menunjang buku-buku cetak yang digunakan dalam pembelajaran. Meski demikian, pengajar harus selektif dalam memilih sumber belajar dari internet agar ilmu pengetahuan yang di hasilkan adalah benar.
2. Penggunaan teknologi digital untuk media pembelajaran berbasis teknologi digital ada berbagai macam media pembelajaran baik itu media pembelajaran berbasis cetakan, audio, visual, audio visual, cetakan, animasi, dll.
Saat ini, semua instansi pemerintahan menggunakan laman website dan social media untuk menyampaikan berbagai macam informasi. Tidak hanya instansi pemerintah, instansi di luar pemerintahan atau instansi swastapun menyampaikan berbagai macam informasi melalui internet. Pengajar yang tidak update terhadap berbagai informasi dari media digital akan tertinggal.
3. Penggunaan teknologi digital untuk promosi sekolah di era serba digital, promosi sekolah tidak hanya bisa dilakukan melalui media cetak dengan memasang baliho, menyebarkan brosur dan sebagainya. Promosi sekolah juga dapat dilakukan melalui online. Dengan literasi digital, pengajar diberikan keterampilan untuk membuat informasi tentang profil sekolah dan kegiatan-kegiatan sekolah secara online sehingga dapat mengenalkan sekolah kepada masyarakat yang lebih luas.
4. Penggunaan teknologi digital untuk mempublikasikan karya dan informasi selain mengakses dan mendapatkan informasi, pengajar juga perlu untuk memiliki keterampilan dalam penggunaan teknologi digital untuk menyebarkan informasi dan hasil karya pengajar maupun anak didik. Untuk itu, literasi digital juga dilakukan untuk memberikan keterampilan bagi pengajar agar dapat mempublikasikan informasi dan karya dari anak didik dan pengajar.
Peningkatan kompetensi anak didik khususnya tingkat mahasiswa tergantung kepada proses pembelajaran yang mereka terima dari perguruan tinggi. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih mengadopsi sistem pembelajaran yang bersifat satu arah, yaitu dosen menggunakan 80% waktunya untuk memberikan pengetahuan (transfer) yang dimiliki kepada peserta didiknya secara konvensional (one-way traffic), sementara peserta didik duduk mendengarkan dan tidak berperan aktif dalam proses transfer ilmu (Harsono, 2010).
Sistem pendidikan yang bersifat satu arah dikenal Teacher-Centered Learning (TCL) merupakan pendekatan pembelajaran yang menempatkan dosen di pusat kegiatan pembelajaran (Hadi, 2007). TCL dianggap tidak lagi sesuai karena proses pembelajaran bersifat lamban. Kelambanan proses pembelajaran TCL dianggap tidak dapat segera menyesuaikan dengan informasi baru yang ada.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka proses pembelajaran perlu diubah, dari one-way traffic menjadi two-way traffic dan interaktif. Peserta didik bersama-sama secara aktif untuk mencari, menemukan, mengolah, membangun dan memaknai ilmu dan informasi yang dimilikinya di luar yang telah diterima dari dosen. Sistem pembelajaran seperti ini merupakan karakteristik dari proses pembelajaran Student-Centered Learning (SCL) (Harsono, 2010).
Sistem pendidikan saat ini masih bertujuan untuk menyiapkan sumber daya yang sesuai dengan model ekonomi kemasyarakatan yang ada. pengajar merupakan pusat pembelajaran, diikuti struktur program, dan peserta didik berusaha menyesuaikan dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Di masa depan sifat pekerjaan akan cepat sekali berubah, ada pekerjaan yang berkembang, dan ada jenis pekerjaan yang hilang.
Hal ini dapat membuat sistem pendidikan dan kebijakan ketenagakerjaan ketinggalan jaman. Keadaan ini berakibat dibutuhkannya tenaga kerja yang cepat beradaptasi dan siap belajar terusmenerus untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dan lingkungan bekerja yang kompleks (Karaferye, 2018).
Dengan demikian, seorang pembelajar adalah pembelajar sepanjang hayat yang selalu aktif belajar, mengaktualisasikan pengalaman belajarnya, dan ini diperlukan pengajar yang lebih dari sekedar pemberi ilmu. Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah sudah merintis program pelatihan berbasis digital dengan pendekatan andragogi. Dalam beberapa tahun ke depan, metode ini masih bisa diterapkan dengan dikembangkan menjadi selfdetermined learning atau yang lebih dikenal sebagai heutagogi.
Gagasan ini menjadi keniscayaan karena berbagai faktor yaitu ; (1) perkembangan teknologi digital yang pesat; (2) peran sentral guru sebagai penanam pengetahuan akan bergeser menjadi pembimbing, pengarah diskusi, dan pengukur kemajuan siswa (Hampson dkk, dalam Zubaidah, 2017); (3) insan pendidikan, khususnya guru, harus memiliki daya adaptasi yang hebat untuk melayani dan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; dan (4) menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Pedagogi dalam terminologi umum berarti pembelajaran orang dewasa. Orang dewasa belajar sesuai inisiatifnya sendiri, menentukan tujuan, strategi, maupun sumber belajarnya secara mandiri. Orang dewasa sudah memiliki pengalaman, pengetahuan, kecakapan, dan kemampuan mengatasi hidup (Sujarwo, 2007). Pada intinya, mereka belajar dengan sadar karena membutuhkan sesuai kepentingannya. Revolusi industri 4.0 turut memicu paradigma pendidikan baru yakni pendidikan 4.0, yang memunculkan sebuah terminologi baru yaitu heutagogi.
Dalam istilah lain, heutagogi disebut sebagai self-determined learning (Blaschke, 2012), dimana pembelajaran dilihat sebagai sebuah proses yang ditentukan sendiri secara murni oleh pembelajar. Perbedaannya dengan andragogi adalah dalam andragogi masih terdapat peran antara guru dan siswa atau antara peserta dan fasilitator. Dalam heutagogi peran itu sudah lebur, karena dua pihak atau lebih dalam pembelajaran secara bersama-sama menjadi pembelajar.
Pihak-pihak yang terlibat saling menimba ilmu dan saling belajar dengan yang lain. Peran guru/fasilitator tidak sebatas sebagai pemberi ilmu, tetapi perannya lebih dari itu yaitu pembelajar sepanjang hayat, pemimpin pembelajaran, pengarah sumber belajar, pengarah pembentuk jaringan, manajer keberagaman jaringan, dan pembuka komunikasi (J. Gerstein dalam Karaferye, 2018). Intinya keduanya sama-sama menjadi pembelajar.
Proses pembelajaran pada matakuliah Sistem Pendukung Keputusan selama ini yang dilaksanakan belum menunjukkan peran masing-masing komponen sebagaimana seharusnya sesuai paradigma student centered. Aktivitas dominan masih dipegang oleh Dosen dalam menyampaikan informasi yang secara garis besar termuat dalam buku paket dan menempatkan peserta didik dalam keadaan pasif.
Dosen melakukan proses pembelajaran masih terbiasa bertindak sebagai pemberi informasi, mengembangkan budaya belajar bahasa tutur dan peserta didik mendengarkan atau menerima, serta pengembangan berfikir pada tingkat rendah yaitu menghafal atau mengingat materi pelajaran.
Menurut Dale “hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkrit), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampaian pesan itu. Semakin nyata (kongkret pesan itu maka semakin mudah bagi peserta didik mencerna materi yang diberikan.
Berkaitan dengan simbol verbal dan visual sendiri, maka pengajar sebisa mungkin menggambarkan dan menvisualisasikan sehingga benak peserta didik mampu mencernanya dengan baik. Dari beberapa pendapat mengenai pengertian media pembelajaran tersebut bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik atau alat yang digunakan sebagai perantara untuk menyampaikan informasi berupa materi ajar ke peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model Problem BasedLearningmenjadi Heutagogy Problem BasedLearning ( HPBL ) berbantuan aplikasi. Model pembelajaran ini berasaskan konsep pembelajaran mandiri, dan aplikasi sebagai alat pendukung yang membantu peserta didik dalam proses belajar mandiri yang tentunya bertujuan untuk memberikan pengalaman langsung serta meningkatkan pemahaman dan penguasaan peserta didik tentang topik pembahasan mata kuliah sistem pendukung keputusan, sehingga diharapkan dengan menerapkan model pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam penyelesaian masalah (Problem SolvingSkill).
Penggunaan model pembelajaran merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan suasana belajar yang menarik dan kongkrit, sehingga tidak hanya menjadikan peserta didik lebih aktif dan kreatif tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam penyelesaian masalah.
Salah satu target pencapaian Program Studi Sistem Informasi adalah peserta didik mampu menyelesaikan masalah (Problem solving), oleh karena itu mata kuliah Sistem Pendukung Keputusan menjadi mata kuliah wajib pada Program Studi Sistem Informasi. Sistem Pendukung Keputusan merupakan salah satu topik pembelajaran yang banyak diminati peserta didik untuk dijadikan judul penelitian atau tugas akhir.
Penelitian ini telah menghasilkan model Heutagogy Problem based learning berbantuan Aplikasi Management System yang memuat syntax sebagai berikut: 1). Orientasi peserta didik pada masalah; 2).Mengorganisasi peserta Didik; 3). Membuka Web Learning; 4).Mendefenisikan Masalah; 5). Design Alternatif Pemecahan Masalah;6). Diseminasi Masalah; 7). Assesment Pemecahan Masalah.
Kebaharuan dari temuan ini memuat novelty sebagai berikut:
1. Keterbaruan dari penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran HPBL-AMS yang berorientasi kebutuhan, proses, dan karakteristik mata kuliah. Dan telah menghasilkan model pembelajaran HPBL-AMS yeng berbasiskan masalah dan kompetensi 4C. Model yang dikembangkan dengan prosedur dan struktur yang dibentuk dari problem based learning, pembelajaran Heutagogy serta 4 kompetensi abad 21 (critical thinking, creativity, communication, collaboration).
2. Penelitian pengembangan telah menghasilkan perangkat pembelajaran baru sebagai produk dari pengembangan model pembelajaran HPBL-AMS yaitu: a. Sintak-sintak baru HPBL-AMS dimana PBL diintergrasikan dengan komponen Pembelajaran Heutagogy yang membentuk sebuah model baru dikemas dalam sebuah buku bernama Buku Model Perkuliahan, b. Perangkat Pembelajaran, c. Panduan Aplikasi, d. Aplikasi Pembelajaran.
3. Penelitian pengembangan telah menghasilkan komponen atau unsur pendukung pelaksanaan pembelajaran baru pada mata kuliah HPBL-AMS berupa: sintak perkuliahan, prinsip reaksi pengelolaan, sistem sosial, sistem pendukung, serta dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) yang saling bersinergi diantaranya. Komponen model telah dikonfirmasi melalui Confirmatory Factor Analysis (CFA), sehingga model HPBL-AMS adalah cocok (fit) untuk diimplementasikan tidak hanya pada mata kuliah Sistem Pendukung Keputusan akan tetap pada mata kuliah lain yang memiliki karakteristik yang sama.
Hasil temuan menunjukkan bahwa model Heutagogy Problem based learning berbantuan Aplikasi Management System yang dikembangkan terbukti tingkat validitasnya tinggi. Produk model yang dihasilkan meliputi : (1) buku model, (2) buku panduan aplikasi, (3) perangkat pembelajaran dan (4) aplikasi pembelajaran yang dinyatakan valid.
Penilaian praktikalitas dosen dan mahasiswa dinyatakan bahwa keseluruhan produk yang dihasilkan memiliki nilai praktis. Begitupula pada hasil efektivitas yang memuat kognitif, afektif dan psikomotor. Hasil dari pengujian efektivitas model Heutagogy Problem based learning dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Untuk dampak pengiring (nurturant effect) yaitu pencapaian kompetensi mahasiswa pada mata kuliah Sistem pendukung keputusan yang memiliki karakteristik berfikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif dan ilmiah dengan mengangkat dan menyelesaikan masalah dalam bentuk nyata.
Dapat disimpulkan bahwa model Heutagogy Problem based learning yang dikembangkan dinyatakan valid, praktis, efektif dan memiliki kebaruan sehingga layak untuk diterapkan.
Implikasi temuan ini menghasilkan Pengembangan model Heutagogy Problem based learning ini bertujuan agar tercapainya tujuan pembelajaran (instructiuonal effect), namun selain itu yang terpenting dalam mata kuliah Sistem Pendukung Keputusan ini adalah dampak pengiring (nutturant effect) yang memberikan dampak kepada nilai-nilai kehidupan peserta didik terutama dalam menghadapi dunia nyata (real problem). Pengembangan model pembelajaran model Heutagogy Problem based learning ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan pedoman yang jelas bagi perancang dalam mengembangkan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk aktif, inovatif, dan kreatif dalam mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya sesuai dengan prinsip dan tujuan mata kuliah mata kuliah yang dikembangkan. Selain untuk mata kuliah Sistem pendukung keputusan, model (sintaks) yang dikembangkan ini sudah melalui kajian yang empiris sehingga dapat diimplementasikan pada mata kuliah antara teori dan praktik dalam mata kuliah yang ada pada pendidikan tinggi, namun yang perlu dipertimbangkan disaat pembuatan RPS (rancangan perkuliahan semester) perlu disesuaikan dengan karakteristik mata kuliah yang akan dikembangkan.
Artikel ini ditulis oleh Dr.(c) M. Fakhriza M.Kom berdasarkan disertasi untuk penyelesaian Program Doktor (S-3) pada Prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
Tim Promotor Prof. Ganefri, Ph.D, dan Co-Promotor Dr. Sukardi, M.T yang telah lulus diseminarkan pada ujian tertutup tanggal 26 Agustus 2021, pukul 14:00 WIB, dengan Tim Penguji yaitu Dr. Fahmi Rizal, M.Pd., M.T.; Prof. Dr. Ambiyar, M.Pd.; Dr. Nurhasan Syah, M.Pd,; Mugammad Anwar, M.T dan Prof. Zainal Arifin Hasibuan, MLS, Ph.D (Penguji Eksternal dari Universitas Dian Nuswantoro).
Dari hasil temuan penelitian disertasi ini, berkenaan dengan Dr.(c) M. Fakhriza M.Kom telah berhasil mempublikasi artikel di jurnal international bereputasi (Q4) dengan judul Validation Of Heutagogy Problem based learning model development Assisted By Application Management System.
(Dr.(c) M. Fakhriza M.Kom meraih gelar Doktor di usia 36 Tahun, di S3 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Negeri Padang)
No Comments