BICARAINDONESIA : “Layanan Psikologi diselenggarakan berasaskan profesionalitas” (Pasal 3 ayat 2 huruf c UU No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi).
Sebelum diterbitkannya regulasi tentang pendidikan dan layanan praktik psikologi, berbagai kasus pelanggaran praktik psikologi kerap terjadi. Salah satu di antaranya yakni kasus perseteruan antara Revina VT dan Dedy Susanto yang terjadi pada tahun 2020.
Revina VT, seorang selebgram atau selebritas instagram, mempertanyakan legitimasi Dedy Susanto dalam melakukan terapi psikologi setelah sebelumnya mereka melakukan collab dalam konten. Kasus ini pun berkembang, mulai dari hanya postingan di akun media sosial sampai menjadi pengaduan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya.
Dedy Susanto memiliki latar belakang pendidikan S-1 Ekonomi dari Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis dan S-1 Psikologi dari Universitas Persada Indonesia Yai, S-2 Manajemen dari Sekolah Tinggi Manajemen Ppm, dan S-3 Psikologi dari Universitas Persada Yai. Dedy Susanto mengklaim dirinya dengan doktor psikologi dalam menjual jasa layanan terapi.
Klaim yang dilakukan oleh Dedy Susanto untuk branding tidak salah karena faktanya ia adalah lulusan S-3 Psikologi, namun yang tidak tepat adalah saat ia menyandingkan gelar doktor psikologinya dengan jasa layanan terapi kejiwaan.
Dedy mengatakan bahwa ia memang bukan psikolog, tetapi psikoterapis sehingga tetap berhak untuk berpraktik psikologi. “Bahkan S-1 Pariwisata pun, misalkan yang nggak ada hubungan dengan psikologi, bila ia ambil sertifikasi NLP Practitioner, Hypnotherapy Practitioner, dll, dia boleh buka praktek”, tulis Dedy dalam unggahan klarifikasinya (detik.com).
Hal inilah yang menggambarkan lemahnya regulasi praktik psikologi di Indonesia saat itu. Pada saat kasus tersebut terjadi (tahun 2020), belum ada regulasi yang ditetapkan tentang penyelenggaraan layanan psikologi, sehingga walau di kalangan profesional psikologi atau psikolog hal tersebut tidak etis, tetapi ia tetap tidak dapat disalahkan.
Namun, saat ini pemerintah telah mengatur penyelenggaraan praktik psikologi dengan menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi pada tanggal 3 Agustus 2022. Di dalam Undang-Undang ini telah diatur baik tentang penyelenggaraan Pendidikan Psikologi maupun tentang Layanan Psikologi.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi disebutkan dalam Bab II Pasal 3 ayat 2 huruf c, bahwa Layanan Psikologi diselenggarakan berasaskan profesionalitas. Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah prinsip pelaksanaan Layanan Psikologi yang didasari perilaku yang sesuai dengan kompetensi, objektif, tanggung jawab, kaidah, etika profesi, dan martabat keprofesiannya, serta mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Jelas disebutkan bahwa penyelenggaraan layanan psikologi dikatakan profesionalitas ketika dilakukan sesuai kompetensi. Dedy Susanto yang bergelar doktor psikologi merupakan seorang ilmuwan psikologi bukan psikolog.
Sedangkan untuk menyelenggarakan layanan psikologi berupa praktik psikologi harus dilakukan oleh seorang psikolog yang memperoleh kompetensi dari Pendidikan Profesi Psikologi.
Untuk melakukan praktik psikologi tidak hanya sekadar modal sertifikasi psikoterapi tertentu. Sertifikasi tersebut dapat dijadikan sebagai tambahan keahlian bagi seorang psikolog dalam berpraktik. Sebaliknya, sertifikasi itu tidak dapat dijadikan pegangan utama untuk melakukan praktik psikoterapi.
Lebih lanjut dapat kita lihata penjelasan dalam undang-undang ini terkait Surat Izin Layanan Psikologi dan Surat Tanda Regiistrasi yang menjadi persyaratan dalam penyelenggaraan praktik psikologi. Ini diberlakukan guna menjaga profesionalitas dan juga melindungi hak-hak dari masyarakat dalam memperoleh jasa layanan psikologi.
Pada Pasal 4 Undang-undang ini juga dijelaskan bahwa pengaturan penyelenggaraan Pendidikan Psikologi dan Layanan Psikologi bertujuan untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Psikologi dan Layanan Psikologi, meningkatkan daya saing sumber daya manusia dan kesejahteraan psikologis masyarakat, dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Psikolog, Klien, dan masyarakat.
Diharapkan dengan hadirnya Undang-Undang ini masyarakat dapat terlindungi dari praktik-praktik yang melanggar kode etik psikologi. Tidak hanya masyarakat, undang-undang ini juga menjadi payung hukum jelas bagi psikolog, ilmuwan psikologi dalam menyelenggarakan baik Pendidikan Psikologidan maupun Layanan Psikologi juga bagi klien dan masyarakat yang merasakan dampak dari hadirnya ilmu psikologi. (Ain, Nugi, Tita)