BICARAINDONESIA-Jakarta : Baru-baru ini heboh di media sosial Starbucks kalengan yang dijual murah di minimarket. Starbucks kaelngan ini disebut versi BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita) lantaran minuman ini konon bisa mengakomodir mereka yang mau ngopi premium, tapi dengan harga murah.
Dengan harga Rp 15 ribu saja, penikmat kopi bisa mencicipinya. Tidak seperti harga biasanya Starbucks yang dibandrol mulai dari Rp 40 ribuan di gerainya.
Ada tiga varian yang tersedia pada Starbucks kaleng ini, yakni Doubleshot Espresso rasa Espresso Latte dan Mocha.
Keputusan Starbucks untuk merambah pasar minimarket ini menarik para penggemar kopi sekaligus pengamat brand. Dilansir dari detikfood, Kamis (22/9/2022), aktivis brand lokal Arto Biantoro mengatakan, kehadiran Starbucks kalengan di minimarket tentu sebuah langkah untuk memperluas pasar, tapi sekaligus juga demi memperkuat ekuitas brand Starbucks itu sendiri di pasaran kopi.
“Jadi Starbucks mungkin di bayangan saya ingin merambah dari premium market sampai ke market yang ada di bawahnya. Dan itu sebenarnya sah-sah saja. Memang biasanya dilakukan brand-brand yang memiliki kekuatan ekuitas, brand yang sudah populer, dia kemudian memperbesar kemampuannya atau kekuatannya dengan merambah pasar. Dan itu sekali lagi hal yang wajar,” ujarnya.
Langkah ini juga dinilai Arto Biantoro sebagai hal wajar dalam proses pengembangan usaha.
“Ada yang namanya brand extension, line extension, dan category extension. Dan brand seperti Starbucks yang punya global present itu sebenarnya sudah di dalam level mereka sudah mampu mengembangkannya ke sana,” kata dia.
Ia juga mengamati kalau Starbucks sebelumnya sudah pernah mengeluarkan minuman ready to drink lain dalam kemasan botol kaca, tapi pada saat itu harganya masih mahal. Langkah ini dianggap kurang berhasil karena menyamai harga kopi Starbucks yang dibeli di gerainya langsung.
Kemudian pada tahun 2018, Starbucks bekerja sama dengan Nestle untuk memproduksi Starbucks kalengan seperti yang sekarang.
“Dan kalau nggak salah, lewat kerja sama dengan Nestle setahu saya, di tahun 2018 itu, kerja sama ini kemudian menghasilkan apa yang kita lihat sekarang. Pabriknya ada di Indonesia. Jadi proses produksinya murah, harga jualnya bisa lebih kompetitif,” katanya.
Arto menyoroti bahwa Starbucks jeli melihat pola dan kebiasaan konsumen sebelum meluncurkan Starbucks kalengan ini.
“Karena ada konsumen yang datang ke kafe, mereka duduk-duduk nongkrong untuk membahas, tapi ada juga profil customer yang grab and go, which is yang ada di minimarket dan titik-titik lain. Nah ini dua behavior yang berbeda. Dalam dunia ritel, memahami behavior adalah kunci keberhasilan,” tegas Arto.
Ia meyakini bahwa Starbucks tidak ‘bermain sendiri’. Selain sudah melakukan studi pasar, mereka juga melakukan kerja sama strategis dengan brand yang memiliki kemampuan ritel cukup baik, khususnya di Indonesia.
“Dan itulah yang terjadi sekarang, kita bisa melihat produk itu di pasar,” katanya.
Keberhasilan penjualan Starbucks kalengan ini, menurut Arto, harus dilihat bersama-sama ke depannya. Hanya saja ia mengambil contoh, banyak brand besar lain juga melakukan hal serupa atau dengan konsep sebaliknya.
“Misalnya Harley Davidson yang menjual motor lebih murah dengan CC yang lebih murah, dan banyak sekali brand Fast-moving consumer goods (FMCG) lainnya yang kemudian memiliki turunan. Atau dibalik seperti Aqua, mereka punya versi premium juga, gitu,” jelas Arto.
“Biasanya yang saya tahu, ketika brand ada di posisi premium, menurunkan produk ke bawah, jauh lebih bisa diterima sama pasar, meskipun, tidak menutup kemungkinan brand yang ada di bawah mengeluarkan brand untuk seri di atasnya. Beberapa brand juga sudah melakukan itu dengan menambahkan kategori premium atau priority,” tambah dia.
Lebih lanjut, kata Arto, pemilihan minimarket pasti sudah dipelajari oleh Starbucks mengenai bagaimana perilaku konsumen yang sering membeli barang di sana. Lalu soal berhasil atau tidaknya Starbucks kalengan, menurut Arto, waktulah yang akan menentukan.
“Tapi kalau bicara apa yang sudah dimiliki Starbucks, kemampuan besarnya, maka hal-hal seperti ini seharusnya akan bisa dilakukan (berhasil),” kata pria ramah ini.
Apalagi, menurutnya, Starbucks bekerja sama dengan Nestle yang merupakan perusahaan besar dan juga punya produk kategori kopi.
“Sudah biasa untuk brand besar dan global itu punya kategori yang tinggi sekali size-nya dari sisi pasar. Artinya spektrumnya luas dari premium market, sampai yang middle, low market. Biasanya mereka bisa men-support,” katanya.
Dari sisi desain kemasan, Arto menilai Starbucks tetap mempertahankan identitasnya melalui produk Starbucks kalengan ini.
“Kalau saya lihat dari desain kemasannya, tetap tidak menghilangkan esensi Starbucks sebagai sebuah pemain kopi global yang premium. Jadi hanya kemudian yang membedakan adalah dari pola atau kebiasaan pasar yang bisa jadi memiliki kepentingan berbeda pada saat ingin menikmati Starbucks dalam proses kesehariannya,” tutup Arto Biantoro.
No Comments