BICARAINDONESIA-Jakarta : Doktor Strategi Pertahanan Alumnus Unhan RI, Dina Hidayana mengingatkan pentingnya otokritik dan evaluasi kemajuan bangsa, baik berupa kuantitatif maupun kualitatif.
“Secara fundamental, hal tersebut perlu diselaraskan dengan tujuan bernegara sebagaimana preambule UUD 1945 alinea keempat, yakni: melindungi bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan, mencerdaskan anak bangsa dan ikut serta dalam ikhtiar memelihara perdamaian dunia,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (17/8/2024).
Lanjut Dina, kemilau nusantara tentu bisa menjadi delusi apabila sumber daya nasional, berupa keberlimpahan Sumber Daya Manusia dan Kekayaan Alam Indonesia tidak dioptimalkan untuk kemajuan bangsa dan eksistensi generasi masa depan.
“Berkaitan itu, cerita-cerita kehebatan masa nusantara, dimulai masa erotisme rempah yang menjadikan nusantara sebagai pendulum pangan strategis, hingga munculnya cikal bakal konsep NKRI, yakni “Cakravala Mandala Dvipantara” era kerajaan Kertanegara (1275 M) perlu menjadi jejak penting dalam merombak Visi Indonesia Maju,” tegasnya.
Dijelaskan Dina juga, kemerdekaan disebut sering beririsan dengan makna kebebasan atau kedaulatan. Dalam pengejawantahan fungsi negara, diartikan sebagai kemampuan menjalankan pemerintahan secara optimal tanpa intervensi asing, baik itu untuk urusan dalam maupun luar negeri.
“Sehingga berdasar definisi tersebut kita bisa mengukur, sejatinya Indonesia sudah benar-benar merdeka, sekedar merdeka semu, atau jangan-jangan belum pernah merdeka,” ujar Dina.
Ketua Depinas SOKSI ini memulai diskursus dengan menunjukkan data Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2023 yang menurun signifikan dibandingkan 2022, meskipun masih dalam kategori yang sama “Cukup Bebas”.
“Sementara Pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang penting, sehingga kebebasan pers yang tetap memegang teguh etika jurnalisme perlu menjadi arus utama,” sebutnya.
Selain itu, kata Dina, berdasarkan data Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development tentang Konflik Agraria 2023, Indonesia disebutkan berada di peringkat pertama dari enam negara Asia yang diteliti, yang cenderung menggunakan pendekatan represif dan kekerasan struktural dalam penanganan kasus tanah.
“Konflik agraria di Indonesia cenderung terus meningkat secara drastis. Penyelesaian sengketa tanah disebutkan menimbulkan banyak luka ditengah masyarakat, baik fisik maupun psikis yang akhirnya berkorelasi dengan tingkat kemiskinan,” tukasnya.
Berkaitan dengan tujuan bernegara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, sambungnya, survey PERC tentang kualitas pendidikan menempatkan Indonesia di rangking 12 dari 12 Negara Asia yang diteliti, sementara rilis OECD tahun 2023 memperlihatkan Indonesia peringkat 67 dari 203 negara di dunia.
“Tentu ini perlu kita waspadai, menjelang Bonus Demografi 2030, agar Indonesia tidak justru turun kelas akibat gagap mendayagunakan kekuatan SDM dalam merespon kepentingan nasional,” kata Dina.
Ironisnya, sebagai pemilik wilayah terbesar ke-14 di dunia, populasi manusia yang nyaris mencapai 300 juta jiwa yang didominasi sektor agraris dan maritim, justru menjadi negara importir pangan terbesar di dunia, khususnya beras, di peringkat kedua setelah Filipina.
“Padahal, negara yang masih menggantungkan sektor pangan (komoditas utama) pada negara lain tidak bisa mengklaim sebagai negara besar dan berdaulat,” ucapnya.
Untuk itu, dalam momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, Dina Hidayana mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menanggalkan egosentros alias keserakahan atas kekayaan dan kekuasaan yang menjerumuskan bukan saja diri sendiri dan keluarga yang bersangkutan. Namun secara luas kehidupan berbangsa dan bernegara akan kehilangan jati diri sebagai negara gotong royong nan gemah ripah loh jinawe, serta menghancurkan kesempatan generasi masa depan untuk menikmati Indonesia yang lebih adil, aman, makmur dan sejahtera.
Selaras tersebut, Dina pun berharap Indeks kebahagiaan Indonesia, beranjak naik lebih baik setidaknya dari negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Singapura. Sementara ini World Happiness Report 2024 masih menempatkan Indonesia di Rangking 80 dari 143 Negara. Artinya, visi negara kesejahteraan saat ini masih jauh dari asa, karena bahkan di Asia Tenggara pun masih tertinggal.
“Karena itu, melihat pentingnya momentum perayaan kemerdekaan RI sebagai upaya merefleksi total melalui otokritik dan evaluasi menyeluruh. Pemerintah baru, perlu menyelaraskan ulang seluruh kekuatan sumber daya manusia dan potensi sumber daya lainnya dengan visi Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran mayoritas Rakyat Indonesia agar kemerdekaan yang diraih melalui perjuangan para pendahulu dan pendiri bangsa tidaklah berakhir menjadi kesia-siaan. Pemimpin adalah kunci, Quo vadis kemerdekaan Indonesia kita?” pungkas Dina.
Editor : Ty/*