BICARAINDONESIA-Jakarta : Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Jalan pintas itu lebih dipilih daripada merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Perppu tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).
“Pagi hari ini, kami sudah berkonsultasi dipanggil Bapak Presiden dan diminta untuk mengumumkan terkait penetapan pemerintah terkait Perppu Cipta Kerja,” kata Airlangga.
Menurutnya, salah satu pertimbangan penerbitan Perppu itu, yakni kebutuhan yang mendesak. Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja juga dinilai pemerintah sangat berpengaruh terhadap perilaku dunia usaha di dalam dan luar negeri.
Hampir seluruh pelaku dunia usaha masih menunggu keberlanjutan dari UU Cipta kerja. Sementara itu, Indonesia sudah mengatur anggaran defisit kurang dari 3% pada 2023 dengan mengandalkan investasi yang ditargetkan sebesar Rp1.200 triliun.
“Oleh karena itu, ini menjadi penting kepastian hukum untuk diadakan sehingga tentunya dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini, diharapkan kepastian hukum bisa terisi. Ini menjadi implementasi dari putusan MK,” jelasnya.
Terkait perppu tersebut, tidak sedikit kalangan masyarakat sipil yang menilai bahwa pemerintah telah sewenang-wenang dan mengabaikan prinsip negara demokrasi. Yang mana negara demokrasi menjunjung tinggi checks and balances antara eksekutif dan legislatif.
Hal itu tampak dari sebagian kalangan DPR yanh menolak Perppu Cipta Kerja. Wakil Ketua Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati menegaskan, MK memutuskan bahwa inkonstitusional bersyarat. Alasannya, UU tersebut cacat formil karena tata cara pembentukan tidak didasarkan dengan metode yang pasti, baku, dan standar.
MK pun meminta pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, dengan memberi batasan waktu selama dua tahun. Namun, Pemerintahan Jokowi justru menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Menurutnya, sama sekali tidak memperbaiki substansi yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja.
“Jika tidak (diperbaiki), resmi keseluruhan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional. Ini mengeluarkan perppu sama sekali tidak memperbaiki, baik dari sisi proses maupun substansi,” ujar Kurniasih, Senin (2/1/2022).
Salah satu yang dikritik dalam UU Cipta Kerja adalah hak dan kewajiban pekerja yang menjadi ranah Komisi IX. Perppu justru semakin mengesampingkan hal tersebut, serta mengabaikan DPR dan publik dalam penyusunannya.
“Ini malah membuat perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR sama sekali,” ujar Kurniasih
Penerbitan Perppu Cipta Kerja juga terkesan mendadak. Meski memang, penerbitan itu merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden. Namun, tetap harus berlandaskan kegentingan yang memaksa.
“Jika soal capaian, Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara G20. Namun, jika alasan penerbitan perppu, seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform,” tandas Kurniasih.
Begitu juga dengan Partai Demokrat yang ikut mengkritik terbitnya Perppu Cipta Kerja itu. Alasan kedaruratan dan keadaan memaksa yang dinyatakan pemerintah, dinilai tak terpenuhi dalam penerbitan suatu perppu.
“Ihwal keadaan darurat, mendesak dan memaksa, kami juga melihat hal itu tidak terpenuhi. Benar, itu hak subjektif presiden menilainya. Namun, Presiden sendiri dalam banyak kesempatan menyatakan keadaan kita baik-baik saja. Ini tentu bertolak belakang dengan syarat-syarat keluarnya perppu,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, Minggu (1/1/2022).
Penilaian subjektif Presiden bukanlah titah yang serta-merta harus jadi hukum. Apalagi, MK menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat dan membutuhkan perbaikan.
“DPR harusnya menolak perppu ini dan patuh pada putusan MK untuk diperbaiki. Jikapun tidak, karena dominannya kursi blok pemerintah di parlemen, kami Partai Demokrat melalui fraksi di DPR akan menolak ini,” ujar Jansen.
“Oleh MK, UU Ciptaker ini telah dinyatakan cacat formil. Harusnya diperbaiki, bukan malah diterabas dengan mengeluarkan perppu karena merasa punya hak dan kuasa untuk itu,” tegasnya.
Sementara itu, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) menilai rakyat Indonesia saat ini lebih membutuhkan Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Menurut Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat, ada dua alasan prinsip perlunya Perppu Pembatalan tersebut. Pertama, alasan formil, karena MK telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
“Pemerintah seharusnya menerbitkan perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja dan mengembalikan berlakunya seluruh UU yang terdampak Omnibus Law. Termasuk kembali memberlakukan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta seluruh peraturan turunannya,” ujarnya, Senin (2/1/2023).
Kedua, perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja terkait aspek materiil. Mirah Sumirat mengungkapkan, dampak buruk Omnibus Law UU Cipta Kerja, khususnya klaster Ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin.
“Hal ini karena UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah, juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia,” ujarnya.
Presiden Jokowi buka suara menanggapi pro-kontra Perppu Cipta Kerja. Dia mengatakan, pro-kontra biasa terjadi dalam setiap kebijakan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah.
“Ya, biasa dalam setiap kebijakan serta keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra,” ujar Jokowi usai meresmikan Pembukaan Perdagangan Bursa Efek Indonesia 2023 di Jakarta, Senin (2/1/2022).
Meskipun begitu, Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah bisa memberikan penjelasan yang dibutuhkan masyarakat.
“Tapi semua bisa kita jelaskan,” tandasnya.
Editor: Rizki Audina/*