BICARAINDONESIA-Jakarta : Diduga memperjualbelikan kavling kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai, Batam, Kepulauan Riau, ke ranah hukum, PT Mega Karya Nanjaya dipidanakan.
Hal itu dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jendral Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR), Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang.
Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR Ariodillah Virgantara mengatakan, penyidikan kasus perubahan fungsi lahan di kawasan hutan lindung yang diperjualbelikan didasarkan pada hasil audit tata ruang kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan dan Karimun oleh Kementerian ATR/BPN pada tahun 2019.
“Ditemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan. Ternyata, hasil audit yang seharusnya hutan, sudah tidak menjadi hutan lagi,” ujar Ariodillah, Senin (22/5/2023).
Ariodillah menjelaskan, pihaknya telah melakukan penelusuran melalui citra satelit pada tahun 2020, 2021, dan 2022. Ditemukan gerakan bahwa tutupan yang masih ada pada 2017 mulai dibongkar. Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan kavling-kavling yang dijual dengan harga murah.
Ditjen PPTR juga telah dua kali memasang plang peringatan yang melarang pembangunan di daerah hutan lindung pada 2020 dan 2022, tetapi dibongkar oleh oknum tidak dikenal. Aktivitas pembangunan tetap berjalan dengan sejumlah rumah telah berdiri.
Menurut Ariodillah, dengan sejumlah bukti yang ada, Budi Sudarmawan selaku Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya dinyatakan melakukan tindakan ilegal dan melanggar Undang-Undang Nomor 26 Pasal 69 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kemudian, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR menindaklanjuti hal itu ke Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, hingga Kepolisian Daerah untuk melakukan penindakan terhadap tersangka.
“Dalam proses yang berjalan hampir satu tahun, Ditjen PPTR telah menemukan tersangka dan berkas perkaranya sudah lengkap atau P21. Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan disidang dua minggu lagi,” kata Ariodillah.
Lebih lanjut, Ariodillah mengatakan, kasus hutan lindung yang diperjualbelikan ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga warga. Apalagi, kasus ini telah masuk ke tahap transaksi jual beli oleh tersangka secara sepihak. Yang mana, tersangka membuat masterplanĀ palsu tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Namun, sesuai dengan peraturan yang berlaku, bangunan yang telah berdiri tetap harus dibongkar dan dipulihkan menjadi hutan kembali. Kini Kementerian ATR/BPN pun mencari solusi agar nasib masyarakat yang telah membeli kavling tersebut dapat tertangani dengan baik.
Rencananya, Kementerian ATR/BPN berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) untuk menampung pembeli yang dirugikan.
Ariodillah mengimbau, agar masyarakat memeriksa sertifikat perumahan yang akan dibeli. Saat ini, kasus tersebut telah diproses ke ranah hukum pidana dan menjadi momentum bagi Kementerian ATR/BPN untuk membuat efek jera bagi mafia lahan.
Editor: Rizki Audina/*