BICARAINDONESIA-Jakarta : Indonesia menjadi negara dengan polusi udara terburuk di Asia Tenggara. Parahnya, Indonesia juga masuk dalam 30 negara dengan polusi udara terburuk.
Perusahaan teknologi asal Swiss, IQAir, merilis laporan terkait polusi udara dunia selama 20222 pada Selasa (14/3/2023). IQAir melaporkan adanya polusi partikel 2,5 mikron (PM 2,5), yaitu partikel kecil yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius.
Di samping itu, PM 2,5 merupakan salah satu bentuk polusi udara paling mematikan dengan diameter kurang dari 2,5 mikrometer. Partikel-partikel itu dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan dapat bertahan dalam waktu lama atau masuk ke aliran darah tanpa filter. Oleh karenanya dapat menyebabkan penyakit pernapasan, meningkatkan risiko kanker paru-paru, dan jantung.
Polusi udara dapat disebabkan banyak hal, tetapi di Asia Tenggara pemicu utamanya adalah emisi industri, pembangkit listrik, kendaraan, dan pembakaran terbuka.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan IQAir, Indonesia menempati peringkat ke-26 sebagai negara dengan polusi terburuk di dunia. Sementara itu, di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat pertama.
Indonesia menempati posisi puncak sebagai negara dengan polusi terburuk karena memiliki 15 kota yang konsentrasi PM 2,5-nya tertinggi. Peringkat teratas ditempati Pasarkemis di Banten. Selain itu, Jakarta dan Surabaya juga masuk dalam daftar kota dengan udara paling tercemar.
Akan tetapi, ada juga kota di Indonesia yang udaranya tergolong sehat. Di antaranya ialah Kupang-Nusa Tenggara Timur, Pangkal Pinang-Kepulauan Bangka Belitung, dan Mamuju-Sulawesi Barat.
Meskipun jadi negara dengan polusi udara terburuk, kondisi tahun 2022 ternyata lebih baik daripada tahun 2021. Tahun 2021, pencemaran PM 2,5 harian Indonesia adalah 34,3 mikrogram per meter kubik, sedangkan tahun 2022 menjadi 30,4 mikrogram per meter kubik.
Dengan membaiknya kondisi itu, Indonesia yang pada 2021 menempati peringkat 17 sebagai negara dengan polusi terburuk di dunia, pada 2022 turun peringkat menjadi 26. Akan tetapi, hal tersebut tak menutup fakta bahwa tingkat konsentrasi itu masih 6-7 kali lipat lebih tinggi dari standar WHO.
Editor: Rizki Audina/*